Thursday, February 12, 2015

Banda Aceh (Pantoranews) Image result for batu giokTrend memakai batu cincin atau akik begitu merebak akhir-akhir ini, hampir disetiap celah acara baik resmi maupun tak resmi, hanya gara-gara melihat batu cincin yang melingkar di jari manis, obrolan pun menjadi panjang, mulai dari bisnis sampai hal mistis di dunia ‘perbatuan’. Sejak batu giok asal Kabupaten Nagan Raya, dikenal di kalangan masyarakat luas, demam batu giok pun kini melanda hampir seluruh Kabupaten di Aceh . Tak pelak, bisnis potong dan asah batu akik asal Aceh itu kian menjamur diberbagai tempat. Sejumlah pengasah batu pun dapat meraup hasil hingga ratusan ribu per hari. 

Sejarah Batu Giok

Awal ditemukan batu giok sekitar akhir tahun 1990 oleh para karyawan PT Alas Helau. Letak batu giok disepanjang jalur sungai Lumut sampai ke kampung Lumut. Kemudian, pada tahun 1997 Faizal Adriansyah dan Meiriadi dari Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben) Aceh melakukan penyelidikan batu mulia di Aceh Tengah. Lokasi penyelidikannya meliputi wilayah Jagong, Lumut dan sekitar Danau laut Tawar. Di wilayah itu, mereka menjumpai batu mulia yang dapat dikategorikan sebagai batu permata, batu setengah permata, batu hias dan batu indah alami.
Walaupun batu giok sudah ditemukan di Lumut sekitar 24 tahun yang lalu, ternyata hebohnya baru terasa dalam beberapa hari terakhir. Heboh giok kali ini bukan hanya mengusik penggemar batu akik, masyarakat awam pun ikut-ikutan “demam” akibat imbas “giok effects” dan ikut bergabung dalam “Jama’ah Giokiyyah”.
Sebenarnya, mengenal jenis batu mulia merupakan syarat utama dan sangat penting dalam usaha meningkatkan pemanfaatan batu mulia sebagai komoditi. Menurut Faizal Adriansyah dan Meiriadi, prinsip pengenalannya didasarkan pada pengklasifikasian batu mulia.
Pertama, batu permata. Pada umumnya batu permata terdiri dari jenis mineral dan mempunyai kriteria tertinggi dalam penggolongannya, terutama mengenai sifat kekerasan dan faktor lainnya.
 Oleh karenanya, batu ini akan memberikan kenampakan warna yang bervariasi. Contohnya, batu intan (diamond), safir (korundum), topaz, garnet, zirkon, tourmalin, opal dan batu giok (jade).
Kedua, batu setengah mulia. Menurut penggolongannya, batu ini mempunyai kekerasan yang sedang, dan memiliki sedikit persamaan dengan batu permata dalam faktor lainnya. Contohnya, jasper, krisofras, malachit, flourit, dan andalusit.
Ketiga, batu hias. Batuan yang komposisi mineralnya terdiri dari mineral batu setengah permata dan batu permata yang tidak dapat diambil serta dipisahkan jenis mineralnya untuk dibuat menjadi batu kedua golongan itu. Mineral-mineral tersebut umumnya berukuran halus dan dalam keadaan saling tumbuh atau saling mengunci. Contoh, serpentin, onik, pegmatit, kalsit, dan kuarsit.
Keempat, batu indah alami. Batuan yang bernilai seni tinggi yang tercipta secara alami akibat proses alam, khususnya yang berhubungan dengan erosi air. Batu indah alami ini dikenal juga dengan nama “Suiseki” yang berasal dari bahasa Jepang. “Sui “ yang berarti air dan “Seki” yang berarti batu.
Beranjak dari klasifikasi batu mulia tersebut, lantas batu giok yang ditemukan akhir-akhir ini tergolong batu permata atau bukan? Tentu batu permata. Berdasarkan hasil penyelidikan Faizal Adriansyah dan Meiriadi, mereka menyimpulkan bahwa batu mulia yang dijumpai di lokasi penyelidikannya adalah batu permata jenis batu giok (jade). Jade berasal dari bahasa Yunani, Piedra de Hijada yang berarti batu pinggang. Menurut kedua ahli geologi ini, batu giok ada dua jenis yaitu: Jadeit dan Nefrit, yang ganesanya berkaitan dengan metamorfosisme kontak. Jadeit termasuk kelompok mineral yang memiliki aneka warna antara lain putih bersih, merah muda, merah coklat, orange, kuning, biru, abu-abu kebiruan, ungu, dan hitam dengan bayangan warna hijau. Sedangkan Nefrit termasuk kelompok mineral yang berwarna hijau.
Terus, apakah semua batuan yang dipajang itu dapat dikatakan batu mulia? Boleh jadi. Hanya saja batuan atau mineral yang dapat disebut batu mulia apabila memiliki empat syarat: keindahan, ketahanan, kelangkaan, dan kemudahan untuk dibawa. Sebagai syarat lainnya, seperti warna, kebeningan, dan ketembusan cahaya adalah persyaratan skundernya.

Giokiyyah dalam Timbangan Syari’ah

Dari Anas bin Malik, beliau menceritakan “Sesungguhnya Rasulullah SAW memakai cincin perak di tangan kanan beliau, ada mata cincinnya terbuat dari batu habasyah (Etiopia), beliau menjadikan mata cincinnya di bagian telapak tangannya” (HR Muslim )
Hadits tersebut menjadi landasan bahwa Rasulullah memakai batu cincin dan mengikatnya dengan perak, batu yang dikenakan pun beliau peroleh dari Ethiopia, namun berdasarkan referensi mengenai batu apa saja yang dihasilkan dari negara tersebut, ternyata batu Zamrud itu menjadi hasil terbesar bagi bangsa yang pernah mengalami konflik kemanusiaan ini.
Dalam riwayat lain, Ibnul Qoyyim memiliki catatan mengenai cincin yang dikenakan oleh Rasulullah. Sekembalinya  dari Hudaibiyah beliau menulis surat kepada raja yang dibawa oleh para kurirnya. Tatkala beliau hendak menulis surat kepada raja Romawi maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya mereka tidak akan membaca suatu surat kecuali apabila dibubuhi tanda (stempel). Maka beliau menjadikan cincinya yang terbuat dari perak yang diatasnya terdapat ukiran terdiri dari tiga baris. Muhammad pada satu baris, Rasul pada satu baris dan Allah pada satu baris. Beliau pun memberikan stempel surat-surat yang dikirimkan kepada para raja dengannya serta mengutus 6 orang pada satu hari di bulan Ramadhan tahun 7 H. (Zaadul Ma’ad, Juz I hal. 119 – 120).
Bahwa Rasulullah membuat cincin dari perak, dan diukir dengan kata “Muhammad Rasulullah”. Kemudian Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku membuat cincin dari perak, dan aku ukir Muhammad Rasulullah. Karena itu, jangan ada seorangpun yang mengukir dengan tulisan seperti ini.” (HR. Bukhari)
Dari beberapa hadist tersebut, Imam Nawawi menyimpulkan bahwa mata cincinnya berupa batu dari Habasyah, yaitu batu akik. Karena tambang batu akik ada di Habasyah dan Yaman. Warnanya seperti orang Habasyah, yaitu berwarna hitam. Kata Ibnu Abdil Bar, inilah pendapat yang lebih kuat. Berdasarkan riwayat dari Anas yang menegaskan bahwa mata cincin Rasulullah dari perak. Artinya, bukan batu akik.
Kedua makna di atas benar, bahwa Rasulullah terkadang memakai cincin yang matanya dari perak dan terkadang memakai cincin yang matanya batu akik. (Syarah Shahih Muslim).
Memakai cincin hukumnya sunnah (minimal hukumnya mubah dan tidak makruh). Laki-laki tidak boleh memakai cincin dari emas atau yang ada campuran emasnya atau polesan emas, dan boleh menggunakan cincin dari perak dan juga batu-batu mulia dan permata. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah).
 Bagi wanita boleh memakai cincin dari emas dan perak di jari mana saja, karena para wanita dituntut untuk berhias. Disunnahkan bagi lelaki memakai cincin di jari kelingking baik di tangan kanan atau di tangan kiri. Dibolehkan juga bagi lelaki untuk memakai cincin di jari manis, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Hanya diharamkan (atau dimakruhkan menurut sebagian ulama) jika menggunakan cincin di jari telunjuk dan jari tengah.
Memakai cincin sebaiknya jangan terlalu berlebihan. Akan tetapi, sering kita jumpai ada yang memakai sampai empat atau lima cincin bahkan ada sepuluh bagi “jama’ah giokiyyah konservatif .” kalau satu butir cincin beratnya satu ons, sepuluh butir sudah satu kilogram, susah juga bawanya!. Menggunakan sesuatu hendaklah diukur menurut kepantasan pada kebiasaannya. Apalagi dikaitkan dengan hal-hal yang berbau kekuatan gaib.
Dapat dibayangkan, jika seseorang meyakini khasiat yang terkandung dalam batu akik dengan mengkeramatkannya dan selalu menghubung-hubungkan kejadian sehari-hari dengan batu akik. Misalnya seorang sedang dilanda pikiran kusut, agar pikirannya jernih ia memakai batu Zircon, atau jika dalam keadaan tidak tenang lalu memakai batu Spinel, hal-hal seperti ini akan berdampak pada keimanan, lantaran menjadikan batu sebagai benda keramat/jimat.
Ingatlah! Syaitan tidak akan pernah menyerah untuk menggoda dan menggeser aqidah manusia dengan menyisipkan nilai-nilai mistik sehalus apa pun. Maka buanglah kepercayaan-kepercayaan yang tidak berguna agar aqidah kita selamat dari hal-hal yang mengarah pada kemusyrikan. (*)

*Penulis adalah Pengurus Lembaga Bantuan Hukum dan Advokat BKPRMI Banda Aceh. Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Syiah Kuala/
Sumber Harian Rakyat Aceh
Oleh: Zulfajri