Wednesday, December 24, 2014

Image result for Secukupnya Tapi Mendalam
joelpantora
(Pantoranews) - Judul di atas adalah sikap Rasulullah ketika terjadi peristiwa yang ibarat danau, airnya telah dibuat beriak oleh satu peristiwa yang terjadi. Para sahabat di sekeliling beliau, siap memberikan respon dan reaksi, tapi respon dan reaksi yang paling baik datang dari Rasulullah. Tidak kurang, tidak lebih, secukupnya tapi mendalam, kena.

Satu hari, di Masjid Nabi, Rasulullah dan para sahabatnya sedang berkumpul dalam halaqah, majelis ilmu, membahas sesuatu. Masjid Nabi, lantainya masih pasir, tak ada ubin, apalagi sajadah. Dan mereka duduk, shalat, ruku’ dan sujud di atasnya.

Ketika kelompok manusia terbaik ini berkumpul dan mempelajari ilmu dan perintah Allah, tiba-tiba datang seorang lelaki Badui, lelaki desa nan udik ke dalam Masjid Nabi. Kita semua mengetahui kisahnya. Sebagian besar kaum Muslimin bahkan telah hapal ujung ceritanya. Tapi mari, sekali lagi kita belajar dari sudut pandang yang sedikit lain.

Lelaki Badui ini, tak datang untuk bergabung dalam halaqah nan mulia. Lelaki ini terus berjalan, menuju ujung ruangan, di pojok bangunan Masjid Nabi. Di sana, dia tengok kanan dan kiri. Mengangkat kainnya dan berjongkok di ujung ruangan untuk menuntaskan hajatnya. Lelaki Badui ini buang air kecil, buang air kecil!

Para sahabat yang berada di masjid dan sedang berhalaqah, seketika bergejolak. Mereka hendak berdiri, entah dengan niat melakukan apa di hati masing-masing. Para sahabat marah. Dan kemarahan mereka sangat wajah, ini Masjid Nabi, bukan tempat buang hajat. Para sahabat berhamburan, berdiri, segera berjalan menghampiri lelaki Badui yang sedang menuntaskan hajatnya tadi. Di wajah-wajah mereka, para sahabat mulia itu, nampak kemarahan yang siap meledak.

Tapi Rasulullah memanggil dan menenangkan semua sahabat yang sudah siap mengambil aksi. “Jangan, biarkan dia. Jangan menganggunya. Biarkan dia menyelesaikan kencingnya,” ujar Rasulullah saw.

Setelah lelaki Badui ini menyelesaikan urusannya, Rasulullah memanggilnya dengan nada lembut. Padahal, para sahabat, semuanya, sudah berada pada titik didih. Lelaki Badui ini datang dan berjalan pelan menghampiri  Rasulullah. Beliau menangkap atmosfer kemarahan yang mengepungnya. Tapi hanya Rasulullah yang ditujunya.

Dengan halus, ketika lelaki Badui ini berada di depan beliau, Rasulullah berkata, “Sesungguhnya, masjid ini dibangun bukan untuk itu (maksudnya untuk buang hajat). Masjid ini dibangun untuk shalat dan membaca al Qur’an.” Hanya itu, tidak kurang, tidak berlebihan. Singkat, tapi tepat sasaran.
Lelaki Badui ini paham, dan lalu pergi meninggalkan Masjid Nabi. Tak lama waktu shalat tiba, dan Rasulullah memimpin para sahabat untuk menunaikan shalat. Dan yang menarik, lelaki Badui ini bergabung bersama untuk shalat jamaah. Dan Rasulullah pun memimpin shalat.

Seperti biasa, Rasulullah melakukan shalat. Sampai ketika bangkit ruku’, Rasulullah mengucapkan , “Sami’Allahu liman Hamidah.” Allah mendengar orang yang memuji-Nya.
Para sahabat kemudian menjawab dengan ucapan, “Rabbana walakal Hamdu.” Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu.

Di luar dugaan, lelaki Badui, ya betul, lelaki Badui yang tadi, menambahkan doanya lebih panjang dari para sahabat.  “Rabbana walakal Hamdu. Allahumarhamni wa Muhammadan, wala Tarham ma’ana ahadan.”  Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu. Ya Allah, sayangilah aku dan Muhammad. Dan jangan sayangi orang-orang selain kami berdua.

Doa ini dibaca dengan lantang, sampai-sampai Rasulullah mendengarnya. Dan tentu saja, para sahabat yang ada juga mendengarnya. Memang lelaki Badui ini, yang seringkali disebut tidak berpendidikan dan memilik karakter unik, telah menyalahi rukun dari bacaan shalat. Tapi pelajarannya yang seringkali kita tidak perhatikan adalah, lihatlah isi doanya. Doa yang mencerminkan, bahwa Rasulullah telah menguasai hatinya. Doa yang memperlihatkan, bahwa dia juga menolak, sekurang-kurangnya tak mau dengan para sahabat yang ada.

Lelaki Badui ini, yang mohon maaf, sekali lagi kelompok ini sering  disebut sebagai kelompok masyarakat yang tidak berpendidikan, telah menempatkan Rasulullah di tempat yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, dalam pikirannya, dalam doanya, dalam permintaannya kepada Allah. Sehingga dia berharap hanya Rasulullah dan dirinya saja yang dirahmati Allah. Dan tentu saja, ketika seseorang menempati posisi yang istimewa, maka istimewa pula letak nasihatnya.

Selepas shalat, Rasulullah berbalik badan. Lalu beliau memanggil lelaki Badui ini dan berkata singkat, “Engkau telah membatasi sesuatu yang sangat luas.” Ya, singkat, sesuai dengan kebutuhan bagi seorang lelaki Badui yang tentu saja tingkat pemahamannya tidak sama dengan sahabat-sahabat utama seperti Abubakar, Umar bin Khattab atau sahabat yang lain. (int)

Friday, December 19, 2014

Pada suatu hari, Qadhi Abu Bakar Muhammad sewaktu masih belajar di Mekkah merasakan kelaparan yang melilit perutnya. Dari pagi hingga siang, belum ada makanan yang bisa dimakannya. uangpun tak ada untuk membeli makanan. karena itu dia keluar dari rumah supaya dapat mengurangi sedikit rasa lapar yang melanda dirinya. Dengan menbaca Basmalah ia berharap dapat menemukan sesuatu yang dapat mengganjal perutnya.
Harapan Qadhi, sepertinya terkabul karena tanpa sengaja ia menemukan sebuah kantong dari sutra yang diikat dengan kaos kaki yang juga terbuat dari sutra tergeletak dipinggir jalan. Saat itu jalanan sepi tak ada seorangpun yang lewat, lalu diambilnya bungkusan itu dan dibawanya pulang. Setibanya dirumah, Qadhi membuka kantong tersebut, ternyata didalamnya terdapat sebuah kalung permata yang sangat indah dan pasti bernilai sangat tinggi harganya jika dijual. uangnya pasti cukup memenuhi kebutuhannya selama satu tahun bahkan lebih dari itu.
Astaghfirullah, Qadhi menbaca istighfar, karena ia menyadari bahwa kalung yang ia temukan adalah bukan miliknya, walaupun dia sedang kelaparan, ia tidak mau memperoleh makanan dari hasil yang tidak baik, oleh sebab itu sedikit atau banyak makanan haram yang masuk kedalam tubuhnya akan membuat jiwa tercemar dan jauh dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’aala, dan tempat yang paling pantas adalah neraka. Akhirnya dia keluar rumah untuk mencari pemilik kalung tersebut. Tepat pada saat itu, ada seorang laki-laki tua menghentikan langkahnya.
“Anak muda, apakah engkau melihat kantong sutra dikawasan jalan ini....? Di kantong itu yang kubawa ini berisi uang 500 dinar. Uang ini adalah upah yang akan kuberikan kepada orang yang menemukannya.” kata laki-laki tua itu.
Setibanya dirumah beliau tidak langsung memberikan barang tersebut, karena sebelumnya Qadhi tidak menjawab pertanyaan laki-laki tua itu melainkan diajaknya kerumah. Ia kemudian menanyakan kepada laki-laki tua itu tentang ciri-ciri kantong sutra dan kaos kaki pengikatnya, berikut ciri-ciri kalung permata dan jumlahnya, serta benang yang mengikatnya. Ternyata jawaban laki-laki tua itu persis dengan semua yang ditemukannya dijalan sewaktu ia keluar dari rumah.
Kemudian kantong itu diberikan kepada laki-laki tua itu sebagai pemiliknya dan orang itu lalu memberikan imbalan sesuai dengan apa yang pernah ia janjikan jika ada orang yang menemukan kantong sutra itu yang jatuh dijalan sebesar 500 dinar, tetapi Qadhi justru menolaknya karena ia tidak pantas menerima sesuatu imbalan kepada orang lain yang mendapat musibah kehilangan. Dia berkata bahwa, seorang muslim memiliki kewajiban dan tidak pantas menerima imbalan atau upah.
“Bawalah kembali uang bapak! Aku tak pantas menerimanya,” jawab Qadhi
Akan tetapi laki-laki tua itu bersikeras dan terus-menerus memaksa, namun Qadhi tetap menolaknya. Akhirnya laki-laki tua itu yang menyerah dengan beranjak dari tempat duduk ia berjalan keluar rumah Qadhi, pergi dengan membawa kalung permata yang hilang.
Selang beberapa waktu dari kejadian itu, Qadhi kemudian melakukan perjalanan keluar dari kota Mekkah berlayar dengan kapal. Ditengah lautan terjadi badai yang dahsyat, angin sangat kencang dan ombak menggulung sangat tinggi, sehingga kapal yang ditumpangi Qadhi pecah dan akibatnya banyak orang yang tenggelam bersama kapal. Alhamdulillah, Qadhi Abu Bakar bisa selamat dengan berpegangan erat pada potongan papan dari pecahan kapal. Berada ditengah lautan dengan keadaan itu, ia hanya pasrah mengikuti ombak laut yang membawanya entah kemana. namun ia yakin, bahwa Allah akan segera memberikan pertolongan.
Cukup lama terombang-ambing dilautan, Qadhi akhirnya terdampar disebuah pulau yang berpenduduk. Setelah mencari makanan dan berganti pakaian atas bantuan penduduk setempat, ia duduk di serambi masjid sambil membaca ayat-ayat al-Quran. Mengetahui akan hal itu, sebagian penduduk minta diajari cara membaca al-Quran. Ia punmemenuhi permintaan mereka. mereka juga minta diajarkan cara tulis menulis, ketika mereka mengetahui bahwa Qadhi Abu Bakar bisa menulis al-Quran diatas kertas.
Setelah sekian lama tinggal disitu, salah seorang dari penduduk tersebut berkata, “Dikampung ini ada seorang gadis yang tidak punya orang tua, dan mewarisi harta yang tidak sedikit dari orang tuanya. Ia adalah orang yang paling kaya di pulau ini.Kecantikannya luar biasa, akhlaknya pun terpuji. Benar-banar seorang wanita salehah. Maukah engkau menikahinya...?”
Pada awalnya Qadhi Abu Bakar menolak dengan alasan belum mampu. Tetapi mereka terus mendesak dan akhirnya , ia pun mengalah dan beranggap jika sudah memang jodoh, ia mau apalagi. Orang-orang lalu mengantarkan Qadhi kerumah wanita salihah itu, ternyata gadis itu benar-benar gadis yang sangat cantik. Tanpa sengaja pandangan Qadhi tertuju pada kalung permata yang bergantung dileher gadis itu, sebuah kalung yang sangat dikenalnya; kalung yang dahulu pernah ia temukan dijalanan Mekkah.
Mereka berkata: “Kenapa engkau lebih memperhatikan kalung itu daripada orangnya...?”
Qadhi Abu Bakar menceritakan kepada mereka tentang kalung tersebut. Setelah itu mereka langsung meneriakkan takbir. Qadhi Abu Bakar heran atas tingkah laku mereka. Ia pun bertanya, “Ada apa dengan kalian...?”
Kemudian salah seorang dari orang yang mengantar Qadhi menjawab, “Tahukah engkau, orang tua dalam ceritamu itu adalah ayah kandung gadis ini. Ia pernah mengatakan, ‘Aku belum pernah menemui orang yang baik dan bertakwa didunia ini, sebaik orang yang telah mengembalikan kalung ini kepadaku.’ Ia juga berdoa,
‘Ya Allah, jodohkanlah ia dengan putriku.’ Dan sekarang benar-benar menjadi kenyataan.. (*)

Thursday, December 18, 2014

*Kepala Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah pada Perwakilan BPKP Provinsi Riau
sumber HARIAN RAKYAT ACEH
Kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan diatur dalam pasal 93 ayat 1 Perpres 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Prepres 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal tersebut sebagai pertimbangan PPK yang akan memutuskan kontrak sepihak. Apabila menurut PPK dengan pertimbangan/justifikasi teknis yang jelas (dampak sosial), efektivitas pencapaian output kegiatan dan itikad baik dari penyedia barang/jasa, maka PPK dapat memberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan. Pengaturan tersebut tidak secara jelas menyebutkan bahwa perpajangan tersebut apakah dalam masa tahun anggaran pelaksanaan pekerjaan atau dapat melewati tahun anggaran pelaksanaan pekerjaan.
Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No194/PMK.05/2014 tanggal 6 Oktober 2014 tentang pelaksanaan anggaran dalam rangka penyelesaian pekerjaan yang tidak terselesaikan sampai dengan akhir tahun anggaran. Peraturan tersebut merupakan penyempurnaan dari PMK Nomor 25/PMK.05/2012 tanggal 7 Januari 2012.
Menurut pendapat penulis dengan memperhatikan Bab I Ketentuan Umum peraturan tersebut secara jelas diperuntukan bagi penanganan proyek-proyek yang dibiayai dari dana APBN, lalu bagaimana dengan proyek-proyek yang dibiayai dari dana APBD? Apakah dapat mengikuti Permenkeu tersebut ?
Pada pertengahan Desember 2013, Pemerintah Kota Dumai telah melakukan konsultasi kepada LKPP terkait penanganan kegiatan akhir tahun atas beban APBD yang dijawab dengan surat Kepala LKPP nomor 7316/LKPP/D.IV.12/2013 tanggal 27 Desember 2013 disebutkan bahwa “Bilamana pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan melewati tahun anggaran berikutnya, maka untuk mekanisme penganggaran dalam rangka pelaksanaan akhir tahun kontrak yang bersumber APBD mengikuti ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaiman telah diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011”. Mengingat mekanisme penganggaran APBD telah diatur melalui Permendagri, maka untuk memperjelas ketentuan mekanisme pembayaran akhir tahun, pemerintah daerah dapat menerbitkan peraturan mekanisme pembayaran akhir tahun anggaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Permendagi atau peraturan kepala daerah terutama di wilayah Provinsi Riau yang sejenis dengan Permenkeu diatas tidak penulis temukan. Lalu bagaimana dengan pengaturan atas pekerjaan yang tidak terselesaikan sampai dengan akhir tahun atas beban APBD menurut Permendagri 13 tahun 2006 dan perubahannya? Pada pasal 137 huruf b dan pasal 138 ayat 1 sampai dengan ayat 4a Permendagri tersebut intinya secara jelas mengatur bahwa pekerjaan yang dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya dalam bentuk kegiatan lanjutan/DPAL memenuhi kriteria:
Pertama, pekerjaan yang telah ada ikatan perjanjian kontrak pada tahun anggaran berkenaan; dan kedua, keterlambatan penyelesaian pekerjaan diakibatkan bukan karena kelalaian pengguna anggaran/barang atau rekanan, namun karena akibat dari force major.

Sedangkan terkait dengan penganggaran APBD dalam Permendagri Nomor 59 tahun 2007 Pasal 21 menyebutkan bahwa “APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember”.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.05/2014 tanggal 6 Oktober 2014 hanya berlaku untuk kegiatan/proyek yang didanai dari APBN sedangkan untuk proyek yang dibiayai dari dana APBD maka kepala daerah harus membuat peraturan tersendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan selama 50 hari kalender atas pekerjaan yang didanai dari dana APBD dilakukan dalam tahun anggaran yang sama dan penyelesaian pekerjaan tidak melewati tahun anggaran tersebut kecuali dalam kondisi force major. Perencanaan pekerjaan/proyek menjadi sangat penting dengan memperhatikan waktu penyelesaian pekerjaan dan pembayaran yang dibatasi dengan akhir tahun anggaran.
Pekerjaan yang dapat dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya (tidak termasuk proyek multi years) hanya diakibatkan oleh kejadian force major dan bukan kelalaian pengguna anggaran atau rekanan. Efek berantai dari terlambatnya penetapan APBD, proses lelang yang berlarut-larut, sampai dengan ketidaksiapan ULP (Unit Layanan Pengadaan) sering menjadi penyebab pekerjaan tidak dapat diselesaikan sampai dengan akhir tahun anggaran. (*)

Staf BMKG Stasiun Geofisika Kepahiang, Bengkulu
Setelah sejumlah daerah di Pulau Sumatera mengalami bencana hidrometeorogi (banjir, longsor), kini giliran Pulau Jawa yang tertimpa. Tidak tanggung-tanggung akibat bencana longsor di Banjarnegara, korban ditemukan 52 orang meninggal, serta 649 orang mengungsi serta puluhan pemukiman tertimbun tanah longsor. Korban yang sudah teridentifikasi 18 orang di antaranya laki-laki, termasuk seorang anak, dan 17 korban lainnya perempuan. Petugas masih mencari 69 orang lainnya yang hilang akibat longsor yang terjadi Jumat (12/12) petang tersebut.
Upaya pencarian tidak mudah karena di lokasi bencana, tanah bercampur air sehingga sangat lembek dan sulit dilewati. Sembilan alat berat yang sudah disiapkan juga hanya empat yang bisa menjangkau lokasi. Lima alat berat lainnya tertahan karena jalan tertutup longsor.
Bencana longsor di Dusun Jemblung terjadi akibat multifaktor. Penyebab bencana meliputi kondisi tanah yang lapuk, topografi yang relatif curam, permukiman yang membebani tanah lereng, dan curah hujan yang tinggi. Sejak 9 hingga 11 Desember 2014 berturut-turut di wilayah Banjarnegara terjadi hujan lebat. Curah hujan yang tinggi dan berturut-turut inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya longsor di sejumlah titik di wilayah Banjarnegara. Distribusi hujan terpusat di wilayah Banjarnegara dengan total intensitas 100 hingga 140 milimeter selama tiga hari, yakni dari 9 Desember hingga 11 Desember 2014. Longsor terjadi pada Jumat (12/12) tempo hari.

Peringatan Diabaikan
Besarnya dampak longsor pada bencana di Dusun Jemblung sebenarnya sudah dapat diprediksi. Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara Catur Subandrio mengatakan, wilayah permukiman warga di dusun itu berada di kawasan sangat rawan longsor dan pergerakan tanah. BPBD sudah sering mengingatkan warga bahwa tinggal di daerah rawan longsor berbahaya. Namun, warga tak begitu menghiraukan imbauan tersebut.
Tanda-tanda potensi longsor jelas di Karangkobar. Bahkan, pada 5 Desember 2014, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)-Badan Geologi mengirim surat peringatan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bahwa Karangkobar masuk dalam 20 kecamatan rentan longsor katagori menengah hingga tinggi di Banjarnegara. Namun, pemberitahuan gamblang itu tak direspons dengan baik. Informasi potensi bencana tidak ditindaklanjuti di lapangan dengan pemetaan partisipatif warga.

Tanggap Darurat Saja Tidak Cukup
sumber harian rakyat aceh

“Mencegah jauh lebih baik daripada mengobati”. Sudah saatnya kita mengubah paradigma dari tanggap darurat menjadi upaya mitigasi. Kita harus memberikan porsi lebih dalam upaya mitigasi daripada tanggap darurat. Upaya mitigasi bisa berupa sosialisasi wilayah-wilayah rawan bencana. Edukasi cara evakuasi mandiri juga perlu digalakkan. Serta pada tahap akhir diharapkan masyarakat dengan kesadaran sendiri melakukan relokasi ke daerah-daerah yang lebih aman.
Dalam upaya mitigasi ini, maka sudah selayaknya pemerintah mempertegas kembali larangan-larangan mendirikan pemukiman pada kawasan yang rawan potensi bencana. Tentu ketegasan ini perlu dinaungi oleh regulasi (peraturan/perundang-undangan) yang kuat demi kebaikan kita bersama. Belajar dari negara-negara maju yang memiliki sistem mitigasi dan regulasi yang kuat seperti Jepang. Pemerintah Jepang sangat tegas memberikan larangan dan tindakan kepada masyarakatnya untuk memdirikan pemukiman pada wilayah-wilayah yang menjadi “zona steril” dari pemukiman warga.
Mental masyarakat kita belum siap dengan kata-kata “diimbau”. Masyarakat kita masih memiliki mental yang harus ”dipaksa” agar mau melakukan tindakan termasuk tindakan relokasi ke tempat aman dari wilayah potensi bencana.
Jika upaya kita masih sebatas imbauan dan lebih mementingkan tindakan pascabencana daripada prabencana, maka bersiaplah untuk menunggu dan mengangkut mayat-mayat selanjutnya akibat bencana longsor yang terus berulang setiap tahun. Tentu kita semua menyadari, satu nyawa yang hilang sudah terlalu mahal. Kita tidak ingin bencana serupa terjadi lagi di negeri ini. (*)
Beberapa bulan yang lalu saat saya sedang berada di tempat kerja, tiba-tiba datang seorang tamu yang kebetulan mencari salah satu staf di tempat saya kerja. Sebagai tuan rumah yang baik tentunya saya mempersilahkan tamu tersebut untuk masuk ruangan saya sembari menunggu kawan yang dicarinya.
Selang beberapa saat teman yang dicari tamu tersebut datang dan kemudian mereka berjabat tangan. Sembari mengerjakan tugas kantor yang menumpuk saya menangkap arah pembicaraan mereka. Ternyata mereka adalah Guru dan Murid. Si murid begitu antusias untuk berbagi pengalaman dengan gurunya yang sekarang ada di depannya. Sebut saja si guru adalah pak Amir dan si murid adalah si Anwar. Selang beberapa saat berbicara si anwar memohon ijin untuk melakukan sholat dhuzur. Kebetulan saat itu memang sudah masuk waktu sholat dhuzur.
Usai sholat, kemudian si  Anwar masuk kembali ke ruangan Pak Amir. Pak Amir kemudian bertanya mengenai pekerjaan yang dilakukan si Anwar. Anwar menjawab “Alhamdulillah Pak, hasil usaha saya cukuplah untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak saya”. Iseng saja saya bertanya, “memang apa mas kerjanya?”. Dia menjawab “hanya usaha warnet”. Pertanyaan kemudian saya lanjutkan, “memang ga rugi mas usaha warnet di saat seperti ini?”. Dia menjawab “Alhamdulillah, rejeki sudah ada yang atur kok”. Dia menyebutkan bahwa omset warnetnya perhari tidak pernah kurang dari 100 ribu.
Jawaban yang sedikit aneh di benak saya. Bagaimana mungkin di saat banyak usaha warnet yang ada dia bisa sampai dapat omzet sampe 100 ribu?. Obrolan berhenti disini.
Saat saya memandang wajahnya, tampak bekas sebuah luka di keningnya. Kemudian saya coba bertanya mengenai luka yang ada di keningnya. Dia menjawab akibat kecelakaan yang dialaminya. Ceritanya begini.
Siang itu dia dari Surabaya hendak ke Malang karena ada suatu urusan. Sampai di daerah pandaan – Pasuruan, dia mendengar suara adzan dzuhur sudah berkumandang. Sempat dia mengucapkan kalimat “sebentar ah, nanggung, nanti sekalian sholat dzuhur di Malang. Mumpung jalanan sepi dan tidak macet”. Selang beberap menit kemudian dia mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarainya menabrak sepeda motor yang tiba-tiba berhenti di depannya. Akhir cerita akhirnya dia berurusan dengan pihak berwenang apalagi si korban meninggal dunia. Sempat dia mendekam di tahanan gara-gara kasus kecelakaan tadi.
Akhir cerita, untuk menyelesaikan permasalahan kecelakaan tadi dia menghabiskan dana tidak kurang dari 90 juta. Selain untuk menyantuni keluarga si korban kecelakaan, uang tersebut juga digunakan untuk menebus kendaraan yang ditahan sebagai barang bukti. Coba anda bayangkan seberapa banyak uang tersebut. Namun si anwar sangat bersyukur karena dia hanya kehilangan 90 juta.
Mendengar penuturannya saya hanya bisa menghela nafas panjang. Kemudian anwar melanjutkan ceritanya. Ternyata dia melakukan satu kesalahan fatal dan pada akhirnya dia mengalami kecelakaan tersebut. Gara-gara dia menunda waktu sholat dzuhur di perjalanan. Lalu saya bertanya, memang salah ya menunda waktu sholat apalagi sedang dalam perjalanan?
Anwar menjawab “Mas... jika anda memanggil anak anda satu kali kemudian anak anda datang, apakah anda senang atau marah?”. Saya menjawab “senang”. Lalu dia bertanya kembali “kalo anda memanggil anak anda tetapi si anak bilang, sebentar yah, masing sibuk neh, bagaimana perasaan anda?”. Saya jawab lagi “ya kesel mas, masak anak dipanggil bapaknya malah ngasih tempo waktu”.
Kemudian si Anwar kembali bertanya kepada saya “Jika Allah SWT yang memanggil anda, untuk segera menunaikan sholat, melalui kumandang suara adzan dan anda tidak segera datang, kira-kira Allah SWT bagaimana ya mas?”
Saya tidak sanggup menjawab pertanyaan tersebut, karena faktanya selama saya bekerja, meskipun terdengar suara adzan, saya selalu tidak sholat tepat waktu”. Lalu saya bertanya kepada anda para pembaca..
“Jika Allah SWT yang memanggil anda, untuk segera menunaikan sholat, melalui kumandang suara adzan dan anda tidak segera datang, kira-kira Allah SWT bagaimana ya?” (*)

Wednesday, December 17, 2014

KEMENANGAN Partai Demokrat Liberal (LDP) dalam pemilu Jepang Minggu (14/12) semakin mengukukan posisi Perdana Menteri Shinzo Abe. Bersama mitra koalisinya, Partai Komeito, LDP menguasai Majelis Rendah Parlemen Jepang dengan menduduki 317 di antara 475 kursi (Jawa Pos, 15/12/2014). Meskipun hanya diikuti 29,11 persen pemilih, kemenangan telak itu telah memulihkan mandat terhadap pemerintah untuk menjalankan program ekonomi yang disebut Abenomics.
Sejak berkuasa pada 2012, Abe memprioritaskan pemulihan ekonomi sebagai agenda utama. Prioritas itu didasari oleh suatu fakta bahwa perekonomian Jepang mengalami stagnasi dua dekade terakhir hingga akhirnya disalip Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Melalui Abenomics, politikus berusia 60 tahun itu menginginkan Jepang bangkit kembali sebagai kekuatan ekonomi global.
Abenomics bersandarkan kepada tiga pilar. Yakni, kebijakan moneter, stimulus fiskal, dan reformasi struktural. Kombinasi tiga pilar itu dipandang Abe merupakan resep paling ampuh untuk mengentaskan Jepang dari deflasi dan memicu depresiasi yen. Pelemahan yen berdampak kepada terdongkraknya ekspor Jepang seiring dengan semakin kompetitifnya produk-produk Negeri Matahari Terbit itu di pasar global.
Namun, dampak positif tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Setahun terakhir perekonomian Jepang kembali dilanda resesi. Alih-alih memulihkan kondisi perekonomian, kebijakan Abe untuk meningkatkan pajak penjualan dari 5 persen menjadi 8 persen pada April lalu justru memicu kenaikan harga. Kondisi buruk itulah yang akhirnya mendorong Abe mengadakan pemilu dua tahun lebih cepat daripada jadwal semula pada 2016.
Di tengah resesi ekonomi yang menerjang Jepang, Abe ingin mendapatkan mandat baru yang lebih segar dari rakyat untuk meneruskan Abenomics. Di balik tujuan utama itu, cucu mantan PM Nobusuke Kishi tersebut sesungguhnya juga ingin meraup dukungan rakyat untuk meloloskan kebijakannya mengamandemen Konstitusi Jepang yang mensyaratkan Japan Self-Defense Force (JSDF) hanya berfungsi terbatas sebagai alat pertahanan negara dan merevitalisasi program nuklir untuk mengurangi ketergantungan Jepang kepada impor energi.
Kini, setelah mandat kembali diraih, tantangan yang dihadapi Abe pasca pemilu bukan soal besar kecilnya dukungan rakyat. Tetapi, dia dihadapkan kepada kondisi struktural domestik dan situasi regional yang tidak sepenuhnya mendukung implementasi kebijakan yang hendak diterapkannya. Pertama, Abenomics membutuhkan sumber tenaga produktif yang besar, sementara struktur demografis Jepang justru timpang. Kedua, perubahan paradigma militer berpotensi menimbulkan ketegangan kawasan gara-gara reaksi keras Tiongkok dan Korea Selatan.

Krisis Demografi
Negara yang kuat adalah negara yang ditopang oleh kekuatan anak-anak muda produktif berdaya saing tinggi. Tenaga produktif yang memenuhi pasar kerja merupakan salah satu kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan tenaga produktif, pasar akan terus bergairah dan ekonomi bakal bergerak tanpa henti.
Persoalannya, sepanjang dua dekade terakhir, manakala jumlah tenaga produktif Jepang terus berkurang, populasi orang tua malah meningkat. Pada 2014, tercatat sekitar 63,7 juta penduduk usia produktif (15–64 tahun) dan 23,1 juta orang tua (usia 65 tahun ke atas) di Jepang. Jika dibandingkan dengan 1990-an, penduduk usia produktif tahun ini berkurang 5 juta dan populasi orang tua meningkat hingga dua kali lipat.
Kekurangan tenaga produktif itu sebenarnya bisa diatasi dengan mengimpor pekerja. Namun, Jepang tidak melakukan itu secara aktif untuk menghindari imigrasi besar-besaran. Karena itu, wajar jika populasi Jepang lebih cepat menua bila dibandingkan dengan negara-negara maju yang lain. Akibatnya, produktivitas Jepang harus difokuskan untuk menopang hidup puluhan juta warga negaranya yang berusia lanjut. Dampak negatifnya, daya saing global Jepang berpotensi menurun.
Krisis demografi yang dialami Jepang adalah ancaman serius bagi kesuksesan agenda Abenomics. Kebijakan Abe untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi jelas membutuhkan tenaga produktif berlimpah yang terserap dalam pasar kerja. Abenomics hanya akan berhasil jika problem struktural demografis telah teratasi. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi Jepang bisa jadi akan tetap melambat.

Konstelasi Geopolitik
Salah satu kekhawatiran negara-negara di Asia Timur atas kemenangan telak LDP adalah kemungkinan semakin mulusnya upaya Abe mengubah militer Jepang menjadi semakin agresif. Suara mayoritas yang dimiliki koalisi LDP dalam parlemen Jepang memungkinkan mereka dengan mudah mengamandamen pasal 9 Konstitusi Jepang terkait dengan posisi dan peran JSDF. Jika hal itu terjadi, konflik geopolitik di kawasan berpotensi muncul seiring ketakutan Tiongkok dan Korea Selatan bahwa Jepang akan mengerahkan armada ke wilayah konflik di Laut Tiongkok Timur.
Sejatinya, opini publik Jepang terhadap isu tersebut terbelah. Sejumlah kalangan megkritisi rencana Abe itu. Namun, dengan dukungan rakyat yang baru saja diraih melalui pemilu, tampaknya Abe tidak akan goyah untuk mendorong amandemen konstitusi. Abe berpandangan bahwa agresivitas militer Jepang tidak berarti pengerahan pasukan ke wilayah konflik, tetapi berkerja sama dengan negara lain untuk mengamankan kepentingan nasional bersama.
Meski demikian, dalam realisme politik internasional, janji Abe itu belum tentu bisa dipercaya. Sebagai negara yang masih menyimpan luka masa lalu yang disebabkan agresivitas militer Jepang pada Perang Dunia II, Tiongkok dan Korea Selatan kini bersiaga mereaksi perubahan status militer Jepang tersebut. Jika keduanya bereaksi keras dan menimbulkan ketegangan kawasan, publik Jepang sangat mungkin menuntut Abe untuk membatalkan kebijakannya demi stabilitas ekonomi negara. Bagaimanapun, yang paling dibutuhkan rakyat Jepang saat ini adalah perbaikan kondisi ekonomi. Hal itu bisa diwujudkan jika tercipta stabilitas kawasan. (*)




*Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
sumber Rakyat Aceh 18 desember 2014
Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu.
Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.
Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.
”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”
Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan. Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.
Mahasuci Allah dengan segala tanda-tanda-Nya. Perkataan Rasulullah benar terbukti, sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Zaid bin Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:
Duhai dekatnya surga
Harum dan dingin minumannya
Orang Romawi telah dekat dengan azabnya
Mereka kafir dan jauh nasabnya
Jika bertemu, aku harus membunuhnya
Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan menemui syahidnya.
Ibnu Umar ra bersaksi, ”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian belakang.” Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan membuatnya terbang kemanapun dia suka.
Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa sendiri keberanian di dalam hatinya:
Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!
Kamu harus turun atau kamu akan dipaksa
Bila manusia bersemangat dan bersuara
Mengapa aku melihatmu enggan terhadap surga
Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:
Wahai jiwaku
Jika tidak terbunuh kamu juga pasti mati
Ini adalah takdir kan telah kau hadapi
Jika kamu bernasib seperti mereka berdua
Berarti kamu mendapat hidayah
Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan, risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu menghindar. Semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!
Takut, risau dan galau, sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan, kita seringkali merasakannya. Meski begitu, bukan pula alasan kita menghindar dari sesuatu yang harus kita taklukkan karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang. Kemudian kita mencari-cari alasan dengan menyebutnya dengan dalih strategi dan langkah pintar. Menunduk untuk menanduk, atau yang lainnya.
Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang Muslim adalah menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.
Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran, harus dilakukan, betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri. Meniru ulang apa yang dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat Allah yang Maha Tinggi?!” Wallahu a’lam bi shawab. (*)

Sunday, December 14, 2014

Di Kota Suffah tinggallah seorang pemuda bernama Zahid.  Ia hidup pada zaman Rasulullah SAW.  Setiap hari ia tinggal di Masjid Madinah.  Zahid memang bukan pemuda tampan.  Di usianya yang ke-35, ia belum juga menikah.
Suatu hari, ketika Zahid sedang mengasah pedangnya, tiba-tiba Rasulullah datang dan mengucapkan salam kepadanya.  Zahid terkejut dan menjawabnya dengan gugup.  “Wahai saudaraku Zahid, selama ini engkau tampak sendiri saja”, sapa Rasulullah SAW.
“Allah bersamaku, wahai Rasulullah”, jawab Zahid.
“Maksudku, mengapa selama ini engkau masih lajang..? apakah tak ada dalam benakmu keinginan untuk menikah..?”, tanya beliau lagi.
Zahid menjawab, “Wahai Rasulullah, aku ini lelaki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, apalagi wajahku sangat tak memenuhi syarat, siapa wanita yang mau denganku..?”.
“Mudah saja kalau kau mau..!” kata Rasulullah menimpali.
Zahid hanya termangu.  Tak lama kemudian Rasulullah memerintahkan pembantunya untuk membuat surat lamaran untuk melamar wanita bernama Zulfah binti Said.  Ia anak bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan cantik jelita.  Surat itupun diberikan kepada Zahid untuk kemudian diserahkan kepada Said.  Setiba di sana ternyata Said tengah menerima tamu.  Maka usai mengucapkan salam, Zahid menyerahkan surat tersebut tanpa masuk ke dalam rumah.
“Said saudaraku, aku membawa surat untukmu dari Rasulullah yang mulia”, kata Zahid.
Said menjawab, “Ini adalah kehormatan buatku”.
Surat itu dibuka dan dibacanya.  Alangkah terkejutnya Said usai membaca surat tersebut.  Tak heran karena dalam tradisi bangsa Arab selama ini, perkawinan yang biasanya terjadi adalah seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan pula.  Orang yang kaya harus kawin dengan si kaya juga.  Itulah yang dinamakan “sekufu” (sederajad).
Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah..?”
Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihatku berbohong..?”
Dalam suasana demikian, Zulfah datang dan bertanya, “Ayah.. mengapa engkau tampak tegang menghadapi tamu ini..? Apa tak lebih baik bila ia disuruh masuk..?”
“Anakku, Ia adalah seorang pemuda yang sedang melamarmu.  Dia akan menjadikan engkau istrinya”, kata Said kepada anaknya.
Di saat itulah Zulfah melihat ayahnya, ia pun menangis sejadi-jadinya.  “Ayah banyak pemuda yang lebih tampan dan kaya raya, semuanya menginginkan aku.  Aku tak mau, Ayah..!” jawab Zulfah merasa terhina.
Said pun berkata kepada Zahid, “Saudaraku, engkau tahu sendiri anakku merasa keberatan.  Bukannya aku hendak menghalanginya.  Maka sampaikanlah kepada Rasulullah SAW bila lamaranmu di tolak”.
Mendengar nama Rasulullah SAW disebut sang ayah, Zulfah berhenti menangis dan bertanya, “Mengapa ayah membawa-bawa nama Rasulullah SAW..?”
Said menjawab, “Lelaki yang datang melamarmu ini adalah karena perintah Rasulullah.”
Serta merta Zulfah mengucap istigfar berulang kali dan menyesali kelancangan perbuatannya itu.  Lirih, wanita muda itu berkata kepada sang ayah, “Mengapa ayah tidak mengatakannya sejak tadi bila yang melamarkan lelaki itu adalah Rasulullah SAW.  Kalau begitu keadaanya, nikahkan saja aku dengannya.  Karena aku teringat firman Allah : ‘Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil Allah dan Rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’  Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.’ (An-Nur : 51).”
Hati Zahid bagai melambung entah ke mana.  Ada semburat suka cita yang tergambar dalam rona wajahnya.  Bahagia, itu yang pasti ia rasakan saat itu.  Setiba di masjid ia bersujud syukur.  Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.
“Bagaimana Zahid..?” tanya Rasulullah.
“Alhamdulillah diterima, wahai Rasulullah,” jawab Zahid.
“Sudah ada persiapan..?” tanya Rasulullah lagi.
Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Rasulullah.. aku tidak memiliki apa-apa.”
Rasulullah pun menyuruhnya pergi ke rumah Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf.  Setelah mendapatkan sejumlah uang yang cukup, Zahid pergi ke pasar untuk belanja persiapan pernikahan.  Bersamaan dengan itu Rasulullah menyeru umat Islam untuk berperang menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.
Ketika Zahid sampai di masjid, ia melihat kaum muslimin telah bersiap dengan persenjataanya.  Zahid bertanya, “Ada apa ini..?”
Shahabat menjawab, “Zahid.., hari ini orang kafir akan menghancurkan kita.  Apakah engkau tidak mengetahuinya..?”
Zahid pun beristigfar beberapa kali sambil berkata, “Wah, kalau begitu aku lebih baik menjual perlengkapan perkawinan ini dan aku akan membeli kuda terbaik.”
“Tetapi Zahid, malam nanti adalah bulan madumu.  Apakah engkau akan pergi juga..?” kata para shahabat menasehati.
“Tidak mungkin aku berdiam diri..!” jawab Zahid tegas.
Lalu Zahid menyitir ayat, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya.  Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.  Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (At-Taubah : 24).
Akhirnya Zahid melangkah ke medan pertempuran sampai ia gugur.  Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”  Lalu Rasulullah membacakan surat Ali Imran ayat 169 – 170.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rezeki.  Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka, dan bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) telah mati.  Sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Para Shahabat pun meneteskan air mata.  Bagaimana dengan Zulfah..?
Mendengar kabar kematian Zahid, ia tulus berucap, “Ya.. Allah.. alangkah bahagianya calon suamiku itu.  Andai aku tak dapat mendampinginya di dunia, izinkanlah aku mendampinginya di akhirat kelak.”  Demikian pintanya, sebuah ekspresi cinta sejati dari dunia hingga akhirat.  Cinta yang bersemi oleh ketaatan kepada titah Rasulullah SAW, meski semula hati berontak. (*)


rakyat aceh

Thursday, December 11, 2014

Apa yang dirasakannya adalah takut. Udin telah besar. Sedangkan Mohtar tetap menganggap Udin bukan anaknya sendiri. Malam telah larut. Tetapi ia harus tetap terjaga karena sewaktu-waktu Mohtar akan datang yaitu jika kentongan di gardu telah dipukul dua kali.
Semula gunjingan itu berasal dari omongan ambil lau. Udin lahir secara premature, namun keadaannya seperti orok yang lahir sembilan bulan. Mohtar tidak peduli akan omongan kawan-kawannya itu. Sampai akhirnya Jono bertandang pada suatu malam.
“Rina!” tiba-tiba Jono sudah berdiri di hadapannya.
“Jono . . .,” sambut Rina tergagap. “Kau . . . di sini?”
Tanpa banyak upacara Jono dipersilakan masuk. Laki-laki itu jauh sekali bedanya daripada dulu ketika mereka masih sama-sama mahasiswa di Ibnu Khaldun. Wajahnya yang bulat dan bercahaya telah berubah kuyu. Tubuhnya yang tinggi tegap sekarang tinggal bekas-bekasnya saja. Sekilas Rina terbayang kepada masa-masa itu. Matanya menatap jauh,  melamun hingga tersentak perkataan Jono.
“Mana suamimu?”
Marina kaget. “Ya . . .?”
“Suamimu?”
“Sedang ke luar kota,.”
Jono kemudian menatap seisi ruangan.”Senang hidupmu, bukan?”
Pertanyaan ini diucapkan wajar oleh laki-laki itu. Namun, terasa menusuk hatinya. Matanya memandangi benda-benda mewah yang telah dibelinya bersama Mohtar, suaminya, dan tiba-tiba seolah-olah benda-benda itu bukan miliknya lagi. Ia memandangi Jono, dan ia memandangi dirinya sendiri. Laki-laki itu tetap melarat seperti dulu, bahkan lebih melarat barangkali.
“Aku senang kalau kau bahagia.”
Kembali suara itu terdengar. Ya, lima tahun yang lalu laki-laki itu pernah berbisik di telinganya ketika mereka berikrar setia,”Aku senang kalau kau bahagia.” Suara itu diucapkannya dengan lembut sambil tangan mereka berpegangan. Tiba-tiba Marina mendapat surat dari kampung bahwa ibunya sakit keras. Ia berangkat dengan kereta api, dan diantarkan Jono hingga ke stasiun. Ketika tiba di Pemalang, ibunya dalam keadaan kritis.
Pada detik-detik itulah tangannya ditangkupkan dengan tangan Mohtar, saudara misannya sendiri.
Menjelang naza’ ibunya berpesan, “Hiduplah baik-baik bersamaMohtar.” Setengah tahun kemudian kawinlah ia dengan anak saudara ibunya itu.
Tujuh bulan sesudah perkawinannya dengan Mohtar, lahirlah Udin dalam keadaan segar bugar. Dalam usia Udin dua tahun, mereka pindah ke Jakarta, menempati sebuah rumah mewah di Gunung Sahari IX.
“Aku mendapat alamatmu dari Mahmudi,” kata Jono. Ia duduk, mengeluarkan sebatang Jinggo, disulutnya, dan diisap dalam-dalam. Asap pekatnya mengepul ke udara.
“Kau tega, Rina. Aku menunggu, gagal semuanya. Tapi, ah, kau sudah bahagia,” gumam Jono.
Perih hati Rina. Hanya Tuhan yang tahu bahwa kebahagiaannya hanya terletak pada ketaatannya kepada wasiat mendiang ibunya. Bukanpada yang lain. dan sekarang adalah pada Udin. Kalau saja masih seperti dulu, alangkah rindunya Rina mencium tangan Jono dan menangis meminta ampun.
“Untuk menghibur diri aku pergi ke Lampung dan bekerja di sana. Namun, gambaran tentangmu tak pernah hilang. Aku sakit paru-paru..”
“Jon . . .” hanya itu yang bisa diucapkan Rina.
Setelah itu laki-laki tersebut memandangnya tajam. Jono bangkit mendekatinya. Seperti terkena magnet ia mandah saja ketika tangan Jono membimbingnya ke kamar. Tangan itu sekarang telah mendekapnya. Jono berbisik di telinganya, napasnya panas meratai sekujur wajahnya. “Izinkan aku menjamahmu meskipun setelah itu aku harus mati, Rina. Tolonglah Rina,” ucap Jono mengiba-iba. Napasnya berdengus penuh kerinduan yang dalam. “Izinkan aku menikmati kemesraanmu meskipun hanya sekejap saja.”
Dan tanpa permisi lagi tangan Jono tiba-tiba telahberada di pundaknya. Tangan itu hendak melepaskan kebayanya. Pada saat itulah ia tiba-tiba insaf betul akan keadaannya, dan menjerit. “Jon, jangan! Ini perbuatan terkutuk. Jagan!”
Presis pada saat itu pula Mohtar masuk seraya berteriak, “Sedang mengapa kalian di sini? Di dalam kamarku?”
Jono terperanjat, tetapi cepat bersikap tenang. Marina pucat. Ia merasa bersalah walaupun tidak bersalah. Tergagap-gagap dia menjawab, “Mas, kenalkan . . . . ini kawanku waktu menjadi mahasiswa dulu.”
“Mohtar . . .” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
Jono menerima tangan itu sambil menjawab, “Jono . . . “ Nampaknya seperti tidak ada apa-apa. Tetapi Rina tahu betapa besar cinta serta cemburu Mohtar kepadanya. Ia tahu bahwa suasana itu hanya dibikin-bikin belaka, suasana yang tampaknya tenang bagaikan laut tanpa gelombang.
Darimana suaminya ia menampak bayangan-bayangan merah penuh ancaman. Namun, apa hendak dikata? Peristiwa telah terjadi. Dan Rina memang merasa bersalah. Hingga ia hanya dapat menghela napas. Pasrah.
Semenjak peristiwa itulah Mohtar sangat lain sikapnya. Setiap makan ia keluar. Rina tidak pernah dijamahnya sama sekali. Jika pulang, dari mulutnya menghambur bau minuman keras.
Malam ini seperti biasanya, tatkala lonceng telah berdentang jam dua tengah malam, barulah bayangan tubuh Mohtar muncul di ambang pintu. Dan seperti biasanya Rina menyapa dengan sangat gembira. Lantas seperti biasa pula Mohtar menepis tangannya acuh tak acuh. Setelah itu ia akan menggelosor di atas tempat tidur, mendengkur hingga pagi. Sambil meneteskan air mata menahan sakit, Rina merenung di depan Udin yang tidur dengan aman. Anak ini tidak tahu apa-apa. Ia anakmu, Mohtar, anak kita sendiri.
Tetapi, jeritan itu selamanya hanya tersembunyi dalam tangisan belaka. Ia tidak pernah berani lagi untuk mempertahankan kesuciannya, bahwa ia tidak berkhianat kepada Mohtar.
Waktu pagi-pagi ia terbangun, suaminya sudah dandan dan menyiapkan koper. Rina kaget. Buru-buru ia bersembahyang subuh, lalu bertanya,”Mau kemana Mas?”
Mohtar diam tidak menjawab. Ia cuma menyerahkan sepucuk surat, lantas keluar dengan cepat. Rina berteriak, “Mas . . . !”
Udin terbangun. Melihat ibunya termangu di ambang pintu dan bayangan bapaknya menghilang di kelokan jalan, anak kecil yang tidak bersalah itu bertanya, “Bapak mau kemana, Bu?”
Seraya mengulang membaca isi surat Mohtar kepadanya dalam hati, Rina menjawab sambil terisak,”Bapakmu pergi tak akan kembali.”
“Bu . . .,” Udin menangis dalam pangkuan ibunya.
“Mengapa Bu?” Lalu sayup-sayup seolah suara Mohtar sendiri yang bergema, “Mulai hari ini kamu bebas dariku. Kau kutalak tiga, dan Udin bukan anakku. Maafkan semuanya.”
Pelan-pelan matahari pagi menyinarkan cahayanya, dan tangis Udin tertelan kebisingan hiruk pikuk kota Jakarta.” (*)


sumber harian rakyat aceh

Wednesday, December 10, 2014

KURIKULUM 2013 (K13) oleh penggagasnya diibaratkan kapal Nabi Nuh. Gelombang air adalah perubahan. Air yang datang bisa sangat besar, bisa juga surut. Karena itu, diperlukan wadah seperti kapal yang mampu menyesuaikan diri terhadap besar dan kuatnya gelombang. Jika ingin selamat, bangsa Indonesia harus berlayar bersama ”kapal M. Nuh” K13.
Alih-alih membawa keselamatan bangsa, ”kapal itu” kini malah berbelok di tangan nakhoda baru. Mendikbud baru (Anies Baswedan) justru menganalogikan K13 sebagai tanker yang memiliki panjang badan 500 meter. ”Untuk membelokkan arah laju kapal tangker itu, tidak bisa langsung. Butuh berjalan 10 km dulu, baru benar-benar terlihat beloknya,” (Jati Diri, Jawa Pos, 9/12/2014). Kapal kurikulum –pendidikan di Indonesia– mau berbelok, kemudian melaju ke mana?
Semua paham, perubahan kurikulum merupakan keniscayaan. Namun, harus dipersiapkan pula dengan matang. Tercatat sepuluh kali perubahan kurikulum sejak Indonesia merdeka. Yakni, kurikulum 1947, 1964, 1968 (pembaruan 1964), 1975, 1984, 1994, 1997 (revisi 1994), 2004 (KBK), 2006 (KTSP), dan 2013. Sepanjang sejarah perubahan kurikulum tersebut, yang paling heboh dan kontroversial adalah perubahan K13 yang di-launching pada akhir periode pemerintahan.
K13 seperti ”kejar tayang”, tergesa-gesa, dan dipaksakan. Pada 2013, kuri kulum tersebut diimplementasikan secara terbatas. Sekolah yang tidak ditunjuk sebagai sekolah sasaran tidak dianjurkan turut mengimplementasikannya. Namun, pada tahun pelajaran 2014, semua sekolah harus ber-K13. Yang belum ber-K13 dipaksa untuk melakukan matrikulasi. Kebijakan itu seakan memberikan kesan bahwa semua sekolah di Indonesia serentak telah mengimplementasikan K13. Tidak ada evaluasi terlebih dahulu dan memahami berbagai hambatan yang menyertainya.
Perjuangan mengegolkan K13 sangat heroik, mulai menyakinkan legislatif (DPR RI), kajian akademik dan sosialisasi yang singkat, hingga proteksi K13 melalui berbagai relugasi, baik peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan kementerian pendidikan dan kebudayaan (permendikbud). Bahkan, Kemendikbud pun meng-handle pengadaan buku yang didistribusikan ke seluruh sekolah se-Indonesia yang akhirnya justru menjadi bumerang.
Ketika mendapat kritik bahwa implementasi K13 tidak memiliki landasan hukum dan bahkan bertentangan dengan Standar Nasional Pendidikan sebagaimana terdapat dalam PP Nomor 19 Tahun 2005, muncullah regulasi PP Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 
Demikian pula halnya dengan permedikbud. Lebih dari 15 permendikbud terkait dengan K13 muncul hingga Oktober 2014. Ada permendikbud-permendikbud itu yang direvisi, diperbaiki, dan bahkan ”dikubur” permendikbud sebelumnya. Belum disosialisasikan dan dipahami satu relugasi muncul regulasi yang lain. Misalnya, penilaian yang sebelumnya merujuk kepada Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 harus berganti dengan Nomor 104 Tahun 2014. Itulah sebabnya, ketika menemukan ketidakkonsistenan, tidak jarang pelaku pendidikan kompak ”daripada galau lebih baik menunggu permen(dikbud) yang pasti”. Memang, diakui atau tidak, selain konsep K13 belum matang, kedodoran di tingkat implementasinya.
Tidak mau kalah heroik, akhirnya Anies Baswedan melalui surat elektronik nomor:179342/MPK/KR/2014 memutuskan, sekolah yang baru menerapkan satu semester untuk kembali ke kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sedangkan sekolah yang sudah menerapkan tiga semester tetap meneruskan K13.
Kontroversi baru pun bermunculan. Dunia pendidikan gonjang-ganjing. Ada yang menyambut gembira, namun ada pula yang menyayangkan. Sekolah yang telanjur melaksanakan K13, meski baru satu semester galau, untuk apa mundur kembali ke KTSP kalau pada akhirnya K13 tetap diimplementasikan. Sebaliknya, bagi sekolah yang sudah melaksanakan tiga semester, untuk apa pula meneruskan K13 kalau akhirnya laju kapal benar-benar berbelok ke arah yang berbeda.
Beberapa pemerintah daerah (melalui kepala dinas pendidikannya) dengan gagah, meski bingung, tetap melanjutkan K13. Di daerah lain justru mengapresiasi dan mendukung penghentian total K13. Kini perubahan kurikulum ibarat mengubah kanal TV, bergantung siapa yang memegang remote.
Kita menyaksikan perubahan kurikulum seakan aksi heroik kementerian ”ganti menteri ganti kurikulum”. Dalam tataran teori, tidak ada kesulitan menjelaskan kehebatan dan kelebihan suatu kurikulum. Namun, belum ada bukti yang meyakinkan bahwa kurikulum hebat sama hebatnya di tataran praksis implementasinya. Faktanya, setiap perubahan kurikulum selalu memiliki argumentasi logis sembari menyebut sederet kelemahan dan ketidaklayakan kurikulum sebelumnya. Dahulu, saat sosialisasi dan implementasi, bagaimana wujud KBK (2004) yang ideal berlangsung harus berganti KTSP (2006). Kalangan pendidik yang belum sepenuhnya memahami esensi KTSP harus pula mengimplementasikan K13. Saat mulai antusias dengan K13, sebagian kalangan pendidik harus kembali kepada KTSP.
Keputusan sudah diambil. Ada baiknya Kemendikbud berfokus kepada tata kelola pendidikan, terus semangat memuliakan dan menciptakan guru yang berkompeten. Apa pun kurikulumnya! Sengatan Daniel M. Rosyid di Jawa Pos (8/12/2014) Kita tidak butuh sekolah, apalagi kurikulum layak di dengar. Bahkan, bukan tidak mungkin kelak –di era digital– sekolah menjadi museum. Sumber belajar di mana-mana! (*)

*Pemerhati Masalah Kebijakan dan Implementasi Pendidikan; Kepala Lembaga Penerbitan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) IAI Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
sumber Harian Rakyat Aceh
HAJI Soebandrio adalah menteri luar negeri Indonesia yang dipenjarakan selama 29 tahun. Lahir di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, 15 September 1914 dan wafat di Jakarta, 3 Juli 2004, dalam usia 90 tahun. Berarti, hampir sepertiga usianya dihabiskan dalam bui rezim Orde Baru.
Dia tidak terlibat sama sekali dalam G30S (Gerakan 30 September) dan bukan anggota PKI atau ormasnya, tetapi tetap diseret ke Mahkamah Militer Luar Biasa. Pengadilannya pun bagaikan pembuatan sinetron kejar tayang, hanya 25 hari. Pada 30 September 1966 pukul 24.00, dimulai persidangan Dr Haji Soebandrio yang berlangsung sampai pukul 04.00.
Waktu itu, di Jakarta berlaku jam malam. Jadi, dapat dibayangkan suasana yang mencekam di tempat persidangan yang kini menjadi Gedung Bappenas. Pada 25 Oktober 1966, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menjatuhkan hukuman mati kepada Dr H Soebandrio.
Ketika akan dieksekusi, melayang surat protes Ratu Elizabeth dari Inggris, negara tempat Soebandrio merintis kantor perwakilan Indonesia sejak 1946 dan resmi menjabat duta besar 1950–1954. Hukuman itu akhirnya diubah menjadi seumur hidup. Pada 1995, dengan pertimbangan kesehatan, dia dibebaskan setelah mendekam puluhan tahun di penjara.

Tuduhan terhadap Soebandrio
Soebandrio bukan dalang kudeta 1965 (pencantuman namanya di Dewan Revolusi tidak setahu dirinya seperti halnya beberapa tokoh lainnya seperti Umar Wirahadikusuma dan Amir Machmud). Ketika G30S meletus, Soebandrio dan rombongan sedang berada di Medan, bahkan meneruskan perjalanan ke Langsa. Pada 3 Oktober 1965, mereka baru pulang ke Jawa.
Dia bukan anggota PKI dan ormas-ormasnya. Karena itu, direkayasa tuduhan lain terhadap sang Menteri Luar Negeri. Soebandrio dianggap membantu pelaksanaan percobaan kudeta karena memanggil Aidit ke tanah air. Memang, dia mengirim telegram pada 30 Juli 1965 atas perintah Presiden Soekarno yang meminta Aidit dan Njoto untuk kembali ke Jakarta guna membantu persiapan pidato presiden 17 Agustus 1965.
Dalam persidangan, Jamin, sekretaris presiden, bersaksi bahwa dirinya diperintah presiden mengirim telegram tanggal 2 Agustus 1965 kepada Njoto (hanya kepada Njoto) yang ketika itu berada di Moskow. Jaksa menuduh Soebandrio telah menambahkan nama Aidit agar kembali ke Jakarta. Namun, dalam persidangan juga terbukti bahwa Aidit yang berada di Beijing sudah menjawab telegram Soebandrio dan menyatakan akan kembali ke Jakarta. Karena itu, 2 Agustus 1965, telegram kembali dikirim hanya kepada Njoto.
Semasa persidangan, dilakukan pula black campaign terhadap Soebandrio. Durno dan Haji Peking adalah dua istilah yang digunakan untuk merusak nama baiknya. Dia dituding mengadu domba Angkatan Darat dan PKI, padahal memang sudah ada rivalitas antara keduanya. Julukan Haji Peking diberikan karena Soebandrio menjalankan diplomasi yang bersahabat dengan RRC. Keislamannya diragukan. Dalam sidang, jaksa menanyakan apakah dia salat dan berapa rakaat sehari semalam. Soebandrio menjawab diplomatis bahwa dia bersembahyang lebih banyak daripada yang diwajibkan.
Ketika demonstrasi terus-menerus dilakukan mahasiswa dan pelajar (KAMI dan KAPPI), dibentuklah Barisan Soekarno, meski terlambat (karena itu tidak efektif). Presiden Soekarno membentuknya pada Februari 1966, bukan Soebandrio seperti yang dituduhkan.
Soebandrio selaku menteri luar negeri memindahkan rekening Kementerian Luar Negeri USD 250.000 ke rekening Badan Pusat Intelijen karena situasi darurat untuk keperluan operasi ”Ganyang Malaysia”. Dana itu tidak ditaruh di rekening pribadinya. Menurut pembelanya, Yap Thiam Hien, hal itu tidak melanggar aturan.

Jasa Soebandrio kepada Negara
Tidak jelas apakah Soekarno atau Sjahrir yang menugaskannya ke London selepas proklamasi. Namun, sejak 1946 sampai 1956, Soebandrio memperjuangkan kepentingan Indonesia di luar negeri. Dia menjabat duta besar untuk Uni Soviet 1954–1956 sebelum ditarik Soekarno sebagai Sekjen Kementerian Luar Negeri. Setahun setelah itu, dia menjadi menteri luar negeri selama 9 tahun sampai 1966. Ketika dia menjabat menteri luar negeri, terlaksana pembebasan Irian Barat (1963) dan terselenggara Asian Games IV (1962) serta Ganefo (1963).
Pada 1962, Soebandrio diangkat menjadi wakil perdana menteri yang menangani masalah luar negeri. Selain itu, dia mengepalai Badan Pusat Intelijen yang menjadi koordinator antara unit intelijen di empat Angkatan Bersenjata dan Kejaksaan Agung. Tetapi, dalam urusan itu pun, fokus Soebandrio adalah masalah luar negeri. Dia juga menjadi koordinator urusan Irian Barat.
Soebandrio jelas sangat berjasa dalam bidang politik luar negeri dan diplomasi pembebasan Irian Barat. Dia sempat praktik dokter bedah di Batavia pada zaman penjajahan sebelum terjun ke dunia politik. Dia aktif dalam PSI Sjahrir pascaproklamasi dan pada 1946 merintis pembentukan perwakilan Indonesia di Inggris, kemudian berturut-turut menjadi duta besar di London dan Moskow.
Pada 1957, Soebandrio menjadi Sekjen Kementerian Luar Negeri dan selanjutnya menjabat menteri luar negeri sampai 1966. Ketika meninggal pada 2004, dua mantan menteri luar negeri, Roeslan Abdulgani dan Ali Alatas, datang ke rumah duka untuk memberikan penghormatan terakhir. Kematiannya mendapat perhatian internasional seperti diberitakan surat kabar The Guardian dan The New York Times. (*)

*Visiting research scholar di CSEAS Kyoto University
sumber Rakyat Aceh
(Pantoranews) - Sebagian orang berkata bahwa mimpi itu adalah bunga tidur. Ada juga yang mengatakan bahwa mimpi itu hayalan seseorang yang ingin dicapai namun sangat sulit untuk diwujudkan dalam kenyataan.

Tapi mimpi seorang yang shaleh lagi bersungguh sungguh dalam amal agama maka itu adalah isyarat atau ilham dari Rabb yang maha suci,bahkan apabila kita mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW maka itu adalah sebuah pertemuan dengan Rasulullah SAW sebagaimana pertemuan Beliau SAW dengan sahabat sahabatnya sewaktu mereka masih hidup, karena syaitan tidak akan pernah bisa meniru bentuk fisik dari Rasulullah SAW.
 
Adalah sebuah kisah mimpi yang menjadi penyemangat dalam berjihad dijalan Allah. Mimpi ini dialami oleh seorang yang shaleh bernama Sa’id bin Harits. Mimpi ini ia alami pada malam hari pada peristiwa berjihad melawan Romawi pada tahun 38 H. Sa’id bin Harits dikenal sebagai ahli ibadah. Siangnya diisi dengan shaum dan malamnya diisi dengan tahajud. Begitu juga amalan zikir dan tilawahnya selalu istiqomah dia kerjakan. Seakan akan itu adalah menu makanannya sehari hari yang tidak bisa ia tinggalkan.

Friday, December 5, 2014

  Imam Thawus bin Kaisan, ulama Yaman, pernah melihat Imam Ali Zainal Abidin cucu Ali bin Abi Thalib RA berdiri di bawah naungan Ka’bah, sedang meratap, bermunajat, dan berdoa sambil menangis.
Thawus bertanya, “Wahai cucu Rasulullah SAW, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya kira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.”
Ali Zainal Abidin berkata, “Apakah itu wahai Thawus?” Thawus menjawab, “Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullah SAW. Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda dan ketiga, rahmat Allah bagi Anda.”
Zainal Abidin berkata, “Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah: “... kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu ...” (QS al-Mu’minun: 101).
Ia lalu melanjutkan, “Adapun tentang syafaat kakekku, Allah SWT telah menurunkan firman-Nya: “Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Surat al-Anbiya: 28).
Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat pada orang-orang yang berbuat baik.” (Surat al-A’raf: 56).
Ali Zainal Abidin gemar beribadah dan berdoa, di antara doanya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu jangan sampai ditampakkan baik dalam pandangan manusia padahal tersimpan hati yang buruk.”
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam bukunya Shaidul Khathir berkata, “Tanda orang yang ikhlas ialah jika di hadapan orang sama dengan kesendiriannya.”
Beliau seorang yang dermawan, penyabar, rendah hati, santun dalam berbicara, dan memiliki hati yang bersih. Kemuliaan nasab tidak menjadikannya sombong dan tidak merasa aman dari azab, bahkan, sering berdoa sambil menangis memohon ampunan dari Allah.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya.” (HR Muslim dan lainnya).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Barang siapa yang kurang amalnya, maka tidaklah bisa mencapai kedudukan orang yang banyak beramal. Sudah seharusnya seseorang tidak bersandar pada kemuliaan nasab dan keutamaan nenek moyangnya, yang menyebabkan ia tidak banyak beramal.” (Syarah Shahih Muslim).
Imam Ali Zainal Abidin rahimahullah sangat mencintai sahabat-sahabat radhiallahu anhum. “Beliau kedatangan beberapa orang tamu dari Irak, lalu mereka mendiskreditkan dan menjelekkan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Ketika mereka selesai bicara, beliau bertanya, ”Apakah kalian termasuk kaum muhajirin yang Allah firmankan dalam surah al-Hasyr, “Mereka yang diusir dari kampung halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Apakah kalian termasuk mereka?”  Mereka menjawab, ”Bukan.”
”Apakah kalian termasuk kaum Anshar yang dinyatakan dalam Alquran surah al-Hasyr, ‘Mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan hati mereka tidak iri terhadap apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin. Bahkan, mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri, kendatipun mereka berada dalam kesusahan?”
”Bukan ...!” jawab mereka. Lalu beliau berkata, “Kalian sudah mengakui bukan termasuk ke dalam salah satu dari kedua golongan tadi. Aku bersaksi kalian pasti bukanlah orang yang dimaksud dalam firman Allah, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (Surah al-Hasyr:10). Maka keluarlah kalian dari rumahku, semoga Allah membalas keburukan kalian.” (int)

Thursday, December 4, 2014

Tujuan suatu pernikahan adalah untuk menciptakan kecenderungan (ketenangan), kasih sayang, dan cinta. Sebab seorang istri akan menjadi penyejuk mata, dan penenang di kala timbul problema.
Namun, jika istri itu durhaka lagi membangkang kepada suaminya, maka alamat kehancuran ada didepan mata. Dia tidak lagi menjadi penyejuk hati, tapi menjadi musibah dan neraka bagi suaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : “Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum :21)
Kedurhakaan seorang istri kepada suaminya amat banyak ragam dan bentuknya, seperti mencaci-maki suami, mengangkat suara depan suami, membuat suami jengkel, berwajah cemberut depan suami, menolak ajakan suami untuk jimak, membenci keluarga suami, tidak mensyukuri (mengingkari) kebaikan, dan pemberian suami, tidak mau mengurusi rumah tangga suami, selingkuh, berpacaran di belakang suami, keluar rumah tanpa izin suami, dan sebagainya.
Allah -Subhanahu wa Ta’la- telah mengancam istri yang durhaka kepada suaminya melalui lisan Rasul-Nya ketika Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya” .[HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (9135 & 9136), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (2349), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2771)
Tipe wanita seperti ini banyak disekitar kita. Suami yang capek banting tulang setiap hari untuk menghidupi anak-anaknya, dan memenuhi kebutuhannya, namun masih saja tetap berkeluh kesah dan tidak puas dengan penghasilan suaminya.Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain, sehingga hal itu menjadi beban yang berat bagi suaminya. Maka tidak heran jika neraka dipenuhi dengan wanita-wanita seperti ini.
Sebagaimana sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
“Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?” Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami. Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu”. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]
Dari hadits ini, kita telah mengetahui betapa besar dan agungnya hak-hak suami yang wajib dipenuhi seorang istri sampai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda,
“Sekiranya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada lainnya, niscaya akan kuperintahkan seorang istri sujud kepada suaminya” . [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (1159),
Ini merupakan ancaman yang amat keras bagi para wanita durhaka, karena kedurhakaannya menjadi sebab tertolaknya amal sholatnya di sisi Allah. Dia sholat hanya sekedar melaksanakan kewajiban di hadapan Allah. Adapun pahalanya, maka ia tak akan mendapatkannya, selain lelah dan capek saja. Wal’iyadzu billahmin dzalik. Diantara bentuk kedurhakaan seorang istri kepada suaminya, enggannya seorang istri untuk memenuhi hajat biologis suaminya. Keengganan seorang istri dalam melayani suaminya, lalu suami murka dan jengkel merupakan sebab para malaikat melaknat istri yang durhaka seperti ini.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Jika seorang suami mengajak istrinya (berjimak) ke tempat tidur, lalu sang istri enggan, dan suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai pagi”. [HR. Al-Bukhoriy Kitab Bad'il Kholq (3237), dan Muslim dalam Kitab An-Nikah (1436)]
Seorang suami saat ia butuh pelayanan biologis (jimak) dari istrinya, maka seorang istri tak boleh menolak hajat suaminya, bahkan ia harus berusaha sebisa mungkin memenuhi hajatnya, walaupun ia capek atau sibuk dengan suatu urusan.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, seorang istri tak akan memenuhi hak Robb-nya sampai ia mau memenuhi hak suaminya. Walaupun suaminya meminta dirinya (untuk berjimak), sedang ia berada dalam sekedup, maka ia (istri) tak boleh menghalanginya”.[HR. Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (1853).
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”.
[HR. At-Tirmidziy Kitab Ar-Rodho' (1174), dan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (2014).
Demikianlah bahayanya seorang wanita melakukan kedurhakaan kepada suaminya, yakni tak mau taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma’ruf (boleh) menurut syari’at.
Semoga wanita-wanita yang durhaka kepada suaminya mau kembali berbakti, dan bertaubat sebelum ajal menjemput. Pada hari itulah penyesalan tak lagi bermanfaat baginya.
SEMOGA BERMANFAAT..
Dalam keseharian, ada kebiasaan yang kadang kita tidak sadari, yaitu membicarakan orang lain. Menanyakan kabar si Fulan tentu saja sangat baik. Tapi, bila disertai dengan sikap mencemooh, apalagi berprasangka buruk dan bergosip ria, tak elok rasanya. Memang, gosip itu makin digosok makin sip.
Di waktu senggang, saat bercengkerama dengan tetangga atau rekan kerja, kerap terselip obrolan tentang kebaikan atau keburukan saudara kita. Apalagi, musim kampanye politik ketika saling menjelekkan (bergunjing) dan fitnah menjadi biasa.
Ibarat meminum es, bergunjing sangat mengasyikan, bahkan membuat pelakunya ketagihan tak ada habisnya. Rupanya, kita lupa bahwa tak ada seorang pun dalam kehidupan ini yang sempurna. Jika pun terpaksa membicarakan keburukan orang lain, hendaknya tidak disebutkan nama dan dijadikan hikmah agar kita tak melakukan perbuatan serupa.
Bergunjing merupakan penyakit jiwa yang berbahaya, termasuk kelompok nafsu lawwâmah. Munculnya karena sifat iri dengki dalam hati, tidak suka, cemburu, dan benci. Fitnah dan gosip pun tersebar ke masyarakat. Lalu, muncul guyonan, “Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah.”
Sadarilah, kebiasaan tersebut sangat merugikan karena akan memakan amal kebaikan kita seperti api yang membakar kayu. Bahkan, Allah SWT menyerupakannya dengan memakan bangkai manusia.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujuraat:12)
Bahkan, Rasululllah SAW mewanti-wanti agar kita sebagai umatnya menjauhi perbuatan menggunjing. Diriwayatkan Abu Dawud, Abu Hurairah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Rasulullah menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta.”
Bayangkan bila yang digunjingkan itu kita atau keluarga, sangat menyakitkan bukan? Introspeksi dirilah lebih banyak lagi. Sibukkanlah diri dengan berbagai aktivitas positif sehingga tak sempat lagi bergunjing. Berprasangka baiklah kepada sesama. Pahamilah semua manusia selalu ada sisi kurangnya, ingatlah selalu sisi baiknya.
Apabila ada tetangga atau saudara yang sukses, kekayaannya bertambah, ikutlah senang. Siapa tahu kita akan ikut merasakan kesuksesannya. Tidak perlu terlalu curiga mendapat rezeki dari mana sehingga kekayaannya melimpah ruah. Jadikanlah penyemangat, giatlah bekerja. Setelah segala ikhtiar dilakukan, bertawakallah kepada-Nya. Syukurilah apa yang telah Allah karuniakan kepada kita.
Jauhkan diri dari perbuatan dosa karena itu berpotensi menjadikan gunjingan tetangga atau rekan kerja dan berlindunglah kepada Allah agar terhindar dari perilaku tercela tersebut. Renungkanlah, jika saja Allah SWT membukakan aib kita, betapa malu dan rendahnya kita di hadapan anak, keluarga, tetangga, dan manusia lainnya. Tutuplah aib saudara sendiri, jadikanlah pelajaran, dan berusahalah untuk terus menjadi manusia yang terbaik dalam penilaian-Nya. Wallâhu’alam. (int)

http://rakyataceh.co/

Wednesday, December 3, 2014

ak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dipunyai seseorang sejak masih dalam kandungan. HAM berlaku secara universal, dimana dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Mengkaji secara teoritis, dalam teori perjanjian bernegara, terdapat adanya istilah Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis. Pactum Unionis didefinisi sebagai perjanjian antara individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat membentuik suatu negara, sedangkan pactum Subjectionis adalah perjanjian antara warga negara dengan penguasa yang dipilih di antara warga negara tersebut (Pactum Unionis). Perdebatan antara beberapa Filsup dan pemikir politik seperti Thomas Hobbes mengakui adanya Pactum Subjectionis saja.
Sedangkan pemikir politik John Lock mengakui adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis dan Filsup JJ Roessaeu mengakui adanya Pactum Unionis. Ketiga paham ini berpendapat pada intinya teori perjanjian ini meng-amanahkan adanya perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang harus dijamin oleh penguasa, bentuk  jaminan itu mustilah tertuang dalam konstitusi (Perjanjian Bernegara).
Sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 6 UU HAM, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja atau tidak disengaja atas kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak azasi manusia seorang atau kelompok orang yang di jamin oleh undang undang ini dan tidak mendapat atau di khawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Sebagaimana kita tahu bahwa sifat dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan  individu  terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, beberapa contoh pelanggaran HAM sering dibuktikan dalam sejarah umat manusia. Pertama, penindasan dan merampas hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang. Kedua, menghambat dan membatasi kebebasan pers, pendapat dan berkumpul bagi hak rakyat dan oposisi. Ketiga, hukum (aturan dan/atau UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi. Keempat, manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan keinginan penguasa dan partai tiran/otoriter tanpa diikut atau dihadir rakyat dan oposisi. Kelima, penegak hukum dan/atau petugas keamanan melakukan kekerasan atau anarkis terhadap rakyat dan oposisi di manapun.

Penggusuran Bentuk
 Pelanggaran HAM
Beberapa hari lalu, fenomena penggusuran lahan PT. KAI di Pasar Geudong, Samudera, Aceh Utara yang ditempati warga adalah suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, warga di lokasi penggusuran sebagai manusia tentu memiliki hak untuk hidup dan memenuhi kebutuhan untuk kehidupan yang dijalani. Terlebih lagi warga sudah mendiami kawasan dalam waktu relatif panjang yaitu lebih dari 30 tahun.
Secara jelas menurut hemat saya bahwa penggusuran PT. KAI ini masuk dalam kategori pelanggaran HAM. Dimana masyarakat Aceh juga memiliki hak untuk hidup, maka hak itu dilindungi oleh negara, kalau digusur tanpa ada solusi, adalah tindakan gegabah dan sewena-wena dilakukan aparat pemerintah, baik itu TNI, Polri dan Satpol PP.
Semestnya kompromi dan ruang dialog musyawarah adalah jalan terbaik untuk mencari solusi terbaik jika masalah tersebut berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak. Kita sadar saat ini banyak metode yang dapat diterapkan bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan bukan menjadikan rakyat Aceh menjadi objek, melainkan subjek demi suatu pembangunan.
Lebih jauh, dalam posisi penulis sebagai senator DPD RI asal Aceh (wakil masyarakat Aceh), menentang keras realitas penggusuran yang dilakukan oleh Pemkab Aceh Utara terhadap para pedagang kecil yang mendirikan kios di lahan milik PT. KAI di Keude Geudong Kabupaten Aceh Utara (Kamis, 27/11). Ini menjadi suatu dilema,.apakah ini kepentingan investor, kapitalis, atau kepentingan pemerintahan daerah? Tapi kalau untuk kepentingan pengusaha, berarti pemerintah Aceh Utara sudah salah kaprah dalam melangkah karena lebih mementingkan kepentingkan kelompok dan pribadi daripada kepentingan rakyat.
Kita dapat memahami, bahwasanya sah-sah saja lahan diambil kembali oleh pemiliknya dalam hal ini adalah PT. KAI, tetapi jangan lupa PT. KAI juga milik pemerintah yang artinya tanggung jawab pemerintah juga untuk melakukan tindakan dengan cara lebih manusiawi terhadap rakyat, jalan untuk menyelesaikan persoalan masih banyak tidak dengan serta merta  main gusur, main hancur bangunan saja.
Cara-cara non-kompromatif yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat adalah langkah-langkah kesewenangan yang tidak semestinya, karena lebih cenderung sebagai praktik pelanggaran HAM. Di sini kita dapat melihat pemerintah gagal dalam menjalankan fungsi dan tugas pokok dalam upaya mengayomi, melindungi, memberikan perlindungan hukum dan HAM serta mensejahterakan rakyat.
Dalam kasus penggusuran ini, seharusnya Pemkab Aceh Utara intens melakukan kompromi lebih awal dan sosialisasi agar warga lebih siap. Kemudian mencari alternatif solusi lebih bijak agar warga bisa kembali  mencari rezeki menghidupi keluarganya kembali seperti semula dengan menyiapkan relokasi. Tidak lazim pemerintah dibantu ratusan personil aparat keamanan yang terdiri dari Satpol PP, TNI dan Polri main gusur tanpa ada solusi, pemeritahan seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat apapun itu alasanya, bukan berpihak pada kepentingan pengusaha atau kapitalis.

*) Fachrul Razi, Wakil Ketua Komite I DPD RI Membidangi Politik, Hukum, dan HAM / Senator DPD RI Asal Aceh. Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik FISIP UI
sumber Rakyat Aceh
Ilustrasi/int
Betapa tidak mudahnya seseorang menjadi  bahagia. Kala kata itu diartikan sebagai simbol materi, kemewahan, pangkat, golongan, status sosial.
Secara tidak sadar, pola pikirnya sudah terbebani untuk mengejar segala jenis simbol yang sudah melekat padanya.
Ketika suatu saat simbol-simbol itu gagal didapat, ia akan menjadi kecewa bahkan putus asa seolah-olah hanya dengan meninggikan simbol saja kebahagiaan itu bisa diraihnya.
Memang, ada benarnya kalau materi, kedudukan, dan simbol lainnya bisa membawa seseorang menjadi bahagia. Apalagi, ada pepatah mengatakan, apa pun masalahnya, dengan uang segala urusan bisa menjadi lancar.
Dengan kedudukan, masalah bisa cepat teratasi. Hanya, simbol-simbol tersebut tidak melulu menjadikan seseorang lantas berbahagia.
Materi dan kedudukan di dunia sejatinya tidak akan dibawa ke alam kubur. Apalah arti sebuah simbol kalau dirinya masih jauh dari Tuhan, berbeda halnya kalau simbol tersebut digunakan untuk kebaikan pada diri dan sesama.
Kebiasaan orang yang meninggikan simbol tanpa esensi biasanya akan menganggap rendah dan memandang sebelah mata kepada orang yang hidup tanpa simbol kebahagiaan.
Mereka hanya akan menghormati orang-orang yang berharta, berpangkat dan mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat. Padahal, kemuliaan seseorang dilihat dari ketakwaan, bukan pada selainnya.
“Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujuraat ayat 13).
Inilah fenomena yang berkembang di masyarakat masa lalu maupun modern, banyak orang mengejar kebahagiaan dengan cara yang sulit. Padahal, ada yang lebih penting untuk diperhatikan, yaitu esensi bahagia.
Dengan menyederhanakan pola pikir dan pola hidup niscaya seseorang tidak akan jatuh ke dalam kesalahan berpikir. Siapa pun, pada dasarnya bisa berbahagia dengan mudah.
Karena, bahagia bukan hanya milik orang-orang elite saja. Kalangan menengah dan kalangan bawah pun bisa merasakan hal sama. Orang-orang tanpa pangkat, jabatan, bahkan status sosial pun tetap bisa merasakan kebahagiaan.
Kita tentu pernah mendengar kisah seseorang yang bekerja dengan penghasilan besar setiap bulannya, akan tetapi waktu, tenaga dan pikirannya lebih menguasai dirinya. Sebagian besar waktu habis terpakai untuk mencari materi.
Sedikit sekali waktu berkumpul dengan anak dan istrinya, tiada kehangatan yang bisa dirasakan kecuali pada waktu-waktu tertentu, bahkan tak jarang sang anak seperti kehilangan kasih sayang dari orang tua yang super sibuk dengan urusan-urusan dunia.
Waktu emas sang anak habis dengan orang lain. Alhasil anak pun menjadi lebih dekat dengan pengasuh atau orang yang mengurusinya sejak kecil daripada dengan orang tuanya.
Fenomena lain adalah saat seseorang hidup dengan penghasilan besar setiap bulannya ternyata rumah tangganya tidak harmonis.
Tak jarang, mereka akhirnya harus hidup berpisah karena memilih bercerai dan menjalani hidup masing-masing. Apakah materi dan status sosial belum cukup untuk membahagiakannya!?
Lalu, bagaimana dengan para pedagang kaki lima, petani, nelayan, atau orang-orang pinggiran yang berpenghasilan tidak tetap, terkadang rizki yang didapat hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Adakah mereka mendapat kebahagiaan? Jawabannya, tentu ada.
Kondisi ekonomi bukanlah menjadi alasan bagi seseorang untuk terhalang merasakan manisnya kehidupan selama ia bersabar, tetap berikhtiar, menjaga dirinya dari kemaksiatan, dan selalu bersyukur atas pemberian dari Tuhannya kendati sedikit maka selama itu pula Allah Ta’ala akan membimbingnya kepada kebahagiaan yang hakiki. (int)

Tuesday, December 2, 2014

Selalu mengeluhkan kemalangan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan spiritual kita. Bukankah kita sering merasakan semakin sering kita mengeluh, semakin dalam kita terbenam dalam kemalangan.
Oleh karenanya, sebaiknya kita berterima kasih kepada Allah atas semua nikmat yang kita terima, baik besar maupun kecil, dan mensyukurinya setiap detak jantung dan embusan napas kita.
Insya Allah, kebahagiaan akan terus bertambah jika kita selalu mengingat dan mengapresiasi nikmat-nikmat yang kita terima.
Sebagaimana Allah mengingatkan, “Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmat-Ku kepadamu; sebaliknya jika kamu mengingkari nikmat itu, tentu siksaanku lebih dahsyat.” (QS Ibrahim [14] : 7)
Berterima kasihlah kepada Allah apabila kita mendapat banyak anugerah kenikmatan dan berterima kasihlah pula apabila kita hanya memperoleh sedikit. Bukankah kehidupan ini menawarkan berbagai macam keindahan dan kebahagiaan setiap saat.
Kita dapat menyaksikan kelucuan ikan-ikan menawan dapat muncul dari dalam air ke permukaan. Pohon-pohon tumbuh subur, semakin hari semakin rindang yang memberikan perlindungan kepada orang-orang yang berteduh di bawahnya.
Beraneka jenis bunga indah berwarna cemerlang dapat muncul dari dalam tanah. Burung-burung bernyanyi riang sepanjang pagi dan sore hari.
Maha Suci Allah yang memberikan kenikmatan tak terhitung jumlahnya kepada kita semua, dengan kasih sayangnya yang tak pernah berhenti walau sedetik pun. Kenyataan sederhana, tetapi sarat makna.
Itulah juga yang menyadarkan Sa’di, penyair besar yang pernah kehilangan sepatunya di Masjid Damaskus. Ketika sedang bersungut-sungut meledakkan kejengkelannya, ia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum ceria.
Tampak dalam perhatiannya, penceramah itu patah kedua kakinya. Sa’di berguman dalam hatinya,  “Mengapa aku harus terus berkeluh kesah, padahal penceramah ini patah kedua kakinya, tetapi ia terlihat sangat riang gembira.”
Tiba-tiba Sa’di tersadar dari kekeliruannya dalam melihat kemalangan. Segala kejengkelannya memudar. Ia sedih kehilangan sepatu, padahal di sini ada orang yang tertawa riang meskipun kedua kakinya sedang dibalut perban.
Kisah Sa’di di atas mengingatkan kita, terkadang kita mudah melihat datangnya kemalangan, tetapi hampir tidak menyadari adanya kenikmatan. Baru setelah kehilangan nikmat itu, kita menjadi benar-benar menyadarinya.
Islam mengajarkan, dua kenikmatan yang biasanya tak dirasakan kehadirannya sampai kita kehilangan keduanya, yaitu kesehatan dan keselamatan. Kita terlalu memperhatikan kemalangan yang menimpa kita mungkin karena kemalangan itu dapat mengancam kesejahteraan kita.
Tentu tidak seorang pun dapat menghindar dari semua kesulitan dalam hidup, tetapi janganlah berputus asa. Berusahalah mencari secercah harapan dalam semua kesulitan dan berterima kasihlah atas semua nikmat yang kita dapatkan.
Cobalah untuk selalu berterima kasih kepada Allah ketika menghadapi tantangan dan masalah dalam hidup karena kita pasti akan menemui tantangan dan masalah itu. Seperti semua orang, kita juga akan menemui kesulitan yang harus kita lewati.
Namun, kesulitan itu tidak akan berlangsung selamanya dan Allah tidak akan meninggalkan kita dalam lorong gelap tanpa cahaya.
Berusahalah untuk terus menjadi hamba yang selalu berterima kasih kepada Allah. Tentu kita akan memperoleh hasil terbaik dari pengembangaan sikap berterima kasih kita kepada Allah. (int)
KETIKA diwawancarai tim kajian dari Lemhanas medio September 2014 tentang Skenario Indonesia 2045, saya mengingatkan agar setiap elemen pemerintahan pada era Jokowi-JK lebih memperhatikan koordinasi sinergis. Tidak lagi berjalan sendiri-sendiri seperti yang cenderung terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Inti yang saya kemukakan, antara lain, pemerintah pusat (setiap instansi) harus selalu aktif dan proaktif berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) ”secara paksa”.
Pernyataan itu mungkin terkesan mengagetkan atau ingin mengembalikan sistem sentralistis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Padahal, pada era reformasi ini, kita sudah menerapkan kebijakan desentralisasi otonomi daerah (otoda). Tentu saja tidak. Apalagi saya punya latar belakang sebagai bagian dari (katakanlah semacam) ”pejuang otonomi daerah”. Niscaya saya tidak akan pernah berpikir mundur, termasuk terkait dengan kemajuan demokrasi yang dipraktikkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.
Gagasan untuk melakukan ”koordinasi yang memaksa daerah” itu lebih dimaksudkan untuk memastikan bahwa daerah memiliki dan menjalankan agenda-agenda pembangunan yang bisa secara bertahap mengarah pada pencapaian tujuan pembangunan nasional seperti yang eksplisit tertulis dalam konstitusi. Pada era otoda, pemda dikonsepsikan berperan sebagai ujung tombak pencapaian tujuan negara itu. Atau, aktor-aktor di daerahlah yang paling menentukan maju tidaknya suatu daerah, meningkat tidaknya kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat.
Namun, jika jujur diakui, faktanya selama ini dan bahkan hingga saat ini, kita belum bisa berharap banyak dari pemda untuk kerja idealis dalam rangka mewujudkan tujuan negara itu. Sebab, setiap pemda cenderung berjalan dengan agenda sendiri-sendiri, cenderung ”gambar suka-suka”, termasuk mengusulkan berbagai kegiatan yang berorientasi proyek pragmatis (pragmatically project oriented) untuk dibiayai pemerintah pusat melalui APBN, termasuk melalui jaringan mafia proyek di parlemen.
Sementara itu, pemerintah pusat beserta stakeholders terkait, selain tidak lagi mau repot-repot melakukan verifikasi terhadap program-program daerah, sebagian sudah saling memahami atau tahu sama tahu dengan harapan sebagian oknumnya akan kecipratan secara ”tidak halal” anggaran yang digelontorkan.
Pemerintah pusat hanya membutuhkan laporan administrasi keuangan pelaksanaan proyek-proyek di daerah yang diharapkan bisa dinyatakan ”baik dan berhasil”. Maklum, administrator pemerintahan negara ini sudah merasa senang dan puas apabila laporan atau berkas administrasi proyek tampak rapi yang berisi catatan keberhasilan, kendati sebagian lebih bersifat kamuflase. Itulah yang dijadikan acuan untuk menunjukkan capaian pembangunan setiap tahun dari berbagai daerah di tanah air.
Jika kondisi pola hubungan pusat-daerah tersebut tidak diubah pada era kepemimpinan Jokowi-JK ini, jangan heran jika kita tetap mengelola negara tanpa sadar ke mana kita mengarah. Hanya akan menghabiskan waktu untuk periode rezim tertentu, sedangkan yang merasakan banyak manfaatnya adalah para elite di kekuasaan dan jaringan pebisnisnya.
Sangat minim aktor penting di pemda, terutama kepala daerah dan politisi lokal di DPRD, jika jujur diakui, yang memiliki agenda strategis berjangka panjang (multiyear) dengan skenario pada pencapaian tujuan kita bernegara itu. Mereka umumnya sibuk mengejar target, layaknya pebisnis yang sudah berkorban banyak materi (finansial dan sejenisnya) dalam proses-proses pemilihan mereka (pilkadasung) dan pileg (anggota DPRD). Karena itu, tidak heran, waktu terus berganti, kini kita sudah memasuki tahun ke-70 Indonesia merdeka, belum terbayang kapan tujuan negara kita itu tercapai.
Bahkan, dari segi pendapatan per kapita, warga bangsa ini justru sudah tertinggal dari bangsa Timor Leste, negara baru yang memisahkan diri dari Indonesia pada 1999. Atau, karena perasaan terabaikan dari segi ekonomi dan sosial (pendidikan dan kesehatan), sejumlah warga negara Indonesia yang bermukim di wilayah perbatasan (Nunukan, Kalimantan Utara) dikabarkan pindah status menjadi warga negara Malaysia –atau di antara mereka ada yang memiliki dua kartu identitas kependudukan (KTP Indonesia dan KTP Malaysia).
Kalaupun terjadi peningkatan kesejahteraan, hal itu lebih dirasakan kelompok kelas menengah yang memang tumbuh pesat lantaran memperoleh banyak akses bisnis dan ekonomi dari pihak penguasa. Di sini pulalah kesenjangan sosial sangat tampak menganga lebar antara yang kaya dan miskin di satu pihak serta di lain pihak antara kota-kota besar dan daerah-daerah, khususnya di luar Jawa.
Yang ingin ditekankan di sini, pemerintah pusat tidak sekadar memfasilitasi permintaan daerah, lalu menggelontorkan anggaran setiap tahun dari APBN. Melainkan, haruslah pula dipastikan bahwa dana yang didesentralisasikan itu digunakan untuk membiayai rencana dalam koridor skenario pencapaian tujuan bernegara dalam konstitusi itu. Pemerintah pusat diharapkan berperan sebagai pemandu yang efektif dan memaksa yang gerakannya berlangsung sepanjang tahun, mulai perencanaan program, pelaksanaan, sampai pada evaluasinya.
Aparat instansi pemerintah di Jakarta, dengan sendirinya, akan begitu aktif dan tahu persis berbagai masalah di daerah sesuai dengan bidang masing-masing. Pemda tidak akan begitu mudah lagi membuat atau mengusulkan program sesuai dengan kehendak mereka dan hanya berorientasi proyek. Setidaknya ada tiga syarat: (1) figur-aktor dari pemerintah pusat itu harus menguasai bidang mereka, (2) memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi tentang gerakan kemajuan bangsa, serta (3) memiliki derajat integritas yang tinggi sehingga tak mudah terpengaruh tawaran-tawaran pragmatis dari oknum-oknum tertentu di daerah.
Instrumen untuk ”koordinasi yang memaksa” itu sebenarnya sebagian sudah tersedia. Proses-proses musyawarah pembangunan mulai desa (apalagi sejak 2015 akan digelontorkan dana alokasi desa/ADD), musrenbang kecamatan, kabupaten/kota sampai provinsi, bahkan hingga tingkat nasional) merupakan media untuk identifikasi dan evaluasi kebutuhan pembangunan masyarakat dan daerah secara umum. Dari segi administrasi keuangan, juga sudah ada instrumen evaluasi. Yakni, RAPBD baru bisa disetujui menjadi APBD apabila sudah dievaluasi pejabat pemerintah berlevel di atasnya.
Apalagi posisi Jakarta sangat kuat terhadap daerah karena anggaran pembangunan daerah memang sangat tergantung pada alokasi dana dari APBN (sekitar 85% APBD umumnya bersumber dari dana APBN). Dalam konteks ini, mungkin gagasan Mendagri Tjahjo Kumolo yang akan memperketat evaluasi atas RAPBD provinsi yang sudah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD perlu dikonkretkan dengan dikaitkan pada skenario tahap pencapaian tujuan negara itu. Bukan sekadar formalitas berdasar kesepakatan antara kepala daerah dan DPRD yang umumnya merupakan hasil negosiasi kepentingan ”untuk memperoleh cipratan dari dana APBD/APBN” itu. **

*) Laode Ida, Sosiolog di Departemen Sosiologi FIS UNJ Jakarta. Mantan wakil ketua DPD RI periode 2004–2009; 2009–2014
sumber Rakyat Aceh
Lampu hijau yang diberikan oleh pemerintah baru kepada Pertamina sebagai operator Blok Mahakam setelah dikuras
selama kurang lebih 50 tahun oleh perusahaan Total Indonesia, seperti yang diumumkan Plt Dirjen Migas Ir Naryanto Wagimin dan Widyawan Prawira Atmaja sebagai Kepala Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM adalah angin segar dan langkah yang tepat, serta perlu diapresiasi.Apalagi dalam suasana lifting migas nasional yang menurun terus di angka sekitar 800.000 BPOD dan komsumsi BBM yang terus meningkat sesuai pertumbuhan ekonomi nasional di sekitar 1.5 juta BPOD, sudah tentu kalau dikelola oleh Pertamina dengan serius akan meningkatkan produksi migas untuk bagian negara.
Akan tetapi sayangnya, kebijakan pemerintah ini dikomentari dengan kalimat bersayap oleh dua pejabat migas ini sebagai berikut: “Yang jelas mereka (Pertamina) harus menggandeng kontraktor sebelumnya alias Total Indonesia“.
Lebih jauh Widyawan mengatakan “Pemerintah berharap Pertamina menggadeng kembali Total sebagai bentuk keadilan, sebab selama ini Total sudah berinvestasi dalam mengelola Blok Mahakam dan sebaiknya opsi Pertamina berkesempatan mengelola blok milik Total diluar negeri “ dan bahkan ada kalimat bahwa ‘’Kalau Total tidak diajak, maka mereka akan memboyong semua tenaga ahlinya keluar negeri... “.
Pernyataan-pernyataan para petinggi migas seperti ini, tentu mengundang sinisme pengamat kebijakan energi nasional. Sesungguhnya dua pejabat Migas itu lupa, sebagai mantan atau orang yang pernah berada di Pertamina, harusnya diketahui bahwa tenaga ahli migas Pertamina di hulu sudah sangat piawai dalam mengelola blok migas. Contoh nyata: Blok West Madura Offshore (WMO ). Blok ini, ketika dikelola oleh Kodeco, produksinya tinggal 13.000 BPOD dan sekarang setelah dikelola ahli-ahli Pertamina produksinya sudah mencapai 22.000 BPOD.

Pelanggaran UU Migas
Sebagai pengamat, saya juga mensinyalir dan menduga ada oknum tetap bermain dengan memakai perusahaan lain yang baru (ganti baju). Dugaan itu berdasarkan fakta, Duri Crude & Belanak Crude terus saja diekspor dan diekspor sampai sekarang. Padahal, pada sisi lain kilang Balongan dan Dumai Pertamina sangat memerlukan Duri Crude. Begitu pun Kilang Cilacap dan Balikpapan bisa mengolah Belanak Crude, karena produk itu memang cocok untuk kilang-kilang  tersebut.
Karena itulah, soal ekspor ini, saya menduga telah terjadi pelanggaran atas Undang-undang Migas No22/ 2001 pasal 11 ayat 3 yang berbunyi “Kewajiban  pemasokan minyak dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri” dan menurut Permendag No 42/M.Dag/Per/2009 pasal 3 ayat 1 berbunyi “minyak dan gas bumi sebagaimana disebut pada pasal 2 dapat diekspor dan diimpor setelah mempertimbangkan kondisi pasokan dalam negeri .”
Para (oknum) pejabat migas di negeri ini juga harus menjelaskan juga bagaimana soal penunjukkan kuasa jual LNG bagian negara kepada Chevron Rapak, Ganal Makasar & Eni Muara Bakau sesuai SK Nomor: 0062/BPOOOOO/2011/ SO tanggal 11 mei 2011 yang ditandatangani oleh kepala BP Migas Raden Priyono, serta  adanya alokasi gas kepada hampir 100 trader gas dan sebahagian bertameng Perusda (BUMD ) yang tanpa persetujuan Menteri ESDM. Padahal menurut  Permen ESDM 03 tahun 2010 harus atas persetujuan Menteri ESDM. Ini semua harus dia jelaskan dengan tuntas pada posisi jabatan dia yang baru di kementerian ESDM. Apakah dia tidak paham bahwa apa yang sudah diinvestasikan oleh Total Indonesia di Blok Mahakam sudah diganti oleh cost recovery?
Satu lagi yang patut diingat adalah Blok Mahakam adalah lapangan pengembangan migas yang berisiko lebih kecil dibandingkan Pertamina masuk ke virgin area atau greenfield area  yang berisiko tinggi. Kalau istilah Cak Lontong “Mikir..mikir..mikir “ Andai saja Pertamina dijabat oleh oknum yang seperti ini, bisa hancur produksi migas Indonesia.
Saat ini, Direktur Utama Pertamina yang baru sudah ditetapkan presiden, yakni Dwi Soetjipto yang sudah pula berjanji ikut memberantas mafia migas di Pertamina.
Selain itu, Dirut Pertamina ini sudah pula menjanjikan akan me-review seluruh proses bisnis yang ada dan siap melaksanakan mapping proses-proses apa yang sudah masuk pada best practices internasional maupun domestik.
Tapi, satu hal yang harus diingat bahwa sesungguhnya staf dan karyawan Pertamina, khususnya SDM Pertamina di bidang perminyakan hebat-hebat. Bahkan, banyak juga yang masih muda-muda sudah berkiprah di mancanegara seperti di NOC Petronas, Saudi Aramco dan lainnya di NOC Timur Tengah. Selama ini, tersebab banyaknya intervensi dari pihak-pihak luar yang bikin Pertamina tercinta selalu terseok seok dan selalu dijadikan kambing hitam kalau terjadi krisis BBM. Aduh, mana tahan.***

**) Yusri Usman, Pemerhati Kebijakan Energi Nasional

sumber Rakyat Aceh