Apa yang dirasakannya adalah takut. Udin telah besar. Sedangkan Mohtar
tetap menganggap Udin bukan anaknya sendiri. Malam telah larut. Tetapi
ia harus tetap terjaga karena sewaktu-waktu Mohtar akan datang yaitu
jika kentongan di gardu telah dipukul dua kali.
Semula gunjingan itu berasal dari omongan ambil lau. Udin lahir secara premature, namun keadaannya seperti orok yang lahir sembilan bulan. Mohtar tidak peduli akan omongan kawan-kawannya itu. Sampai akhirnya Jono bertandang pada suatu malam.
“Rina!” tiba-tiba Jono sudah berdiri di hadapannya.
“Jono . . .,” sambut Rina tergagap. “Kau . . . di sini?”
Tanpa banyak upacara Jono dipersilakan masuk. Laki-laki itu jauh sekali bedanya daripada dulu ketika mereka masih sama-sama mahasiswa di Ibnu Khaldun. Wajahnya yang bulat dan bercahaya telah berubah kuyu. Tubuhnya yang tinggi tegap sekarang tinggal bekas-bekasnya saja. Sekilas Rina terbayang kepada masa-masa itu. Matanya menatap jauh, melamun hingga tersentak perkataan Jono.
“Mana suamimu?”
Marina kaget. “Ya . . .?”
“Suamimu?”
“Sedang ke luar kota,.”
Jono kemudian menatap seisi ruangan.”Senang hidupmu, bukan?”
Pertanyaan ini diucapkan wajar oleh laki-laki itu. Namun, terasa menusuk hatinya. Matanya memandangi benda-benda mewah yang telah dibelinya bersama Mohtar, suaminya, dan tiba-tiba seolah-olah benda-benda itu bukan miliknya lagi. Ia memandangi Jono, dan ia memandangi dirinya sendiri. Laki-laki itu tetap melarat seperti dulu, bahkan lebih melarat barangkali.
“Aku senang kalau kau bahagia.”
Kembali suara itu terdengar. Ya, lima tahun yang lalu laki-laki itu pernah berbisik di telinganya ketika mereka berikrar setia,”Aku senang kalau kau bahagia.” Suara itu diucapkannya dengan lembut sambil tangan mereka berpegangan. Tiba-tiba Marina mendapat surat dari kampung bahwa ibunya sakit keras. Ia berangkat dengan kereta api, dan diantarkan Jono hingga ke stasiun. Ketika tiba di Pemalang, ibunya dalam keadaan kritis.
Pada detik-detik itulah tangannya ditangkupkan dengan tangan Mohtar, saudara misannya sendiri.
Menjelang naza’ ibunya berpesan, “Hiduplah baik-baik bersamaMohtar.” Setengah tahun kemudian kawinlah ia dengan anak saudara ibunya itu.
Tujuh bulan sesudah perkawinannya dengan Mohtar, lahirlah Udin dalam keadaan segar bugar. Dalam usia Udin dua tahun, mereka pindah ke Jakarta, menempati sebuah rumah mewah di Gunung Sahari IX.
“Aku mendapat alamatmu dari Mahmudi,” kata Jono. Ia duduk, mengeluarkan sebatang Jinggo, disulutnya, dan diisap dalam-dalam. Asap pekatnya mengepul ke udara.
“Kau tega, Rina. Aku menunggu, gagal semuanya. Tapi, ah, kau sudah bahagia,” gumam Jono.
Perih hati Rina. Hanya Tuhan yang tahu bahwa kebahagiaannya hanya terletak pada ketaatannya kepada wasiat mendiang ibunya. Bukanpada yang lain. dan sekarang adalah pada Udin. Kalau saja masih seperti dulu, alangkah rindunya Rina mencium tangan Jono dan menangis meminta ampun.
“Untuk menghibur diri aku pergi ke Lampung dan bekerja di sana. Namun, gambaran tentangmu tak pernah hilang. Aku sakit paru-paru..”
“Jon . . .” hanya itu yang bisa diucapkan Rina.
Setelah itu laki-laki tersebut memandangnya tajam. Jono bangkit mendekatinya. Seperti terkena magnet ia mandah saja ketika tangan Jono membimbingnya ke kamar. Tangan itu sekarang telah mendekapnya. Jono berbisik di telinganya, napasnya panas meratai sekujur wajahnya. “Izinkan aku menjamahmu meskipun setelah itu aku harus mati, Rina. Tolonglah Rina,” ucap Jono mengiba-iba. Napasnya berdengus penuh kerinduan yang dalam. “Izinkan aku menikmati kemesraanmu meskipun hanya sekejap saja.”
Dan tanpa permisi lagi tangan Jono tiba-tiba telahberada di pundaknya. Tangan itu hendak melepaskan kebayanya. Pada saat itulah ia tiba-tiba insaf betul akan keadaannya, dan menjerit. “Jon, jangan! Ini perbuatan terkutuk. Jagan!”
Presis pada saat itu pula Mohtar masuk seraya berteriak, “Sedang mengapa kalian di sini? Di dalam kamarku?”
Jono terperanjat, tetapi cepat bersikap tenang. Marina pucat. Ia merasa bersalah walaupun tidak bersalah. Tergagap-gagap dia menjawab, “Mas, kenalkan . . . . ini kawanku waktu menjadi mahasiswa dulu.”
“Mohtar . . .” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
Jono menerima tangan itu sambil menjawab, “Jono . . . “ Nampaknya seperti tidak ada apa-apa. Tetapi Rina tahu betapa besar cinta serta cemburu Mohtar kepadanya. Ia tahu bahwa suasana itu hanya dibikin-bikin belaka, suasana yang tampaknya tenang bagaikan laut tanpa gelombang.
Darimana suaminya ia menampak bayangan-bayangan merah penuh ancaman. Namun, apa hendak dikata? Peristiwa telah terjadi. Dan Rina memang merasa bersalah. Hingga ia hanya dapat menghela napas. Pasrah.
Semenjak peristiwa itulah Mohtar sangat lain sikapnya. Setiap makan ia keluar. Rina tidak pernah dijamahnya sama sekali. Jika pulang, dari mulutnya menghambur bau minuman keras.
Malam ini seperti biasanya, tatkala lonceng telah berdentang jam dua tengah malam, barulah bayangan tubuh Mohtar muncul di ambang pintu. Dan seperti biasanya Rina menyapa dengan sangat gembira. Lantas seperti biasa pula Mohtar menepis tangannya acuh tak acuh. Setelah itu ia akan menggelosor di atas tempat tidur, mendengkur hingga pagi. Sambil meneteskan air mata menahan sakit, Rina merenung di depan Udin yang tidur dengan aman. Anak ini tidak tahu apa-apa. Ia anakmu, Mohtar, anak kita sendiri.
Tetapi, jeritan itu selamanya hanya tersembunyi dalam tangisan belaka. Ia tidak pernah berani lagi untuk mempertahankan kesuciannya, bahwa ia tidak berkhianat kepada Mohtar.
Waktu pagi-pagi ia terbangun, suaminya sudah dandan dan menyiapkan koper. Rina kaget. Buru-buru ia bersembahyang subuh, lalu bertanya,”Mau kemana Mas?”
Mohtar diam tidak menjawab. Ia cuma menyerahkan sepucuk surat, lantas keluar dengan cepat. Rina berteriak, “Mas . . . !”
Udin terbangun. Melihat ibunya termangu di ambang pintu dan bayangan bapaknya menghilang di kelokan jalan, anak kecil yang tidak bersalah itu bertanya, “Bapak mau kemana, Bu?”
Seraya mengulang membaca isi surat Mohtar kepadanya dalam hati, Rina menjawab sambil terisak,”Bapakmu pergi tak akan kembali.”
“Bu . . .,” Udin menangis dalam pangkuan ibunya.
“Mengapa Bu?” Lalu sayup-sayup seolah suara Mohtar sendiri yang bergema, “Mulai hari ini kamu bebas dariku. Kau kutalak tiga, dan Udin bukan anakku. Maafkan semuanya.”
Pelan-pelan matahari pagi menyinarkan cahayanya, dan tangis Udin tertelan kebisingan hiruk pikuk kota Jakarta.” (*)
sumber harian rakyat aceh
Semula gunjingan itu berasal dari omongan ambil lau. Udin lahir secara premature, namun keadaannya seperti orok yang lahir sembilan bulan. Mohtar tidak peduli akan omongan kawan-kawannya itu. Sampai akhirnya Jono bertandang pada suatu malam.
“Rina!” tiba-tiba Jono sudah berdiri di hadapannya.
“Jono . . .,” sambut Rina tergagap. “Kau . . . di sini?”
Tanpa banyak upacara Jono dipersilakan masuk. Laki-laki itu jauh sekali bedanya daripada dulu ketika mereka masih sama-sama mahasiswa di Ibnu Khaldun. Wajahnya yang bulat dan bercahaya telah berubah kuyu. Tubuhnya yang tinggi tegap sekarang tinggal bekas-bekasnya saja. Sekilas Rina terbayang kepada masa-masa itu. Matanya menatap jauh, melamun hingga tersentak perkataan Jono.
“Mana suamimu?”
Marina kaget. “Ya . . .?”
“Suamimu?”
“Sedang ke luar kota,.”
Jono kemudian menatap seisi ruangan.”Senang hidupmu, bukan?”
Pertanyaan ini diucapkan wajar oleh laki-laki itu. Namun, terasa menusuk hatinya. Matanya memandangi benda-benda mewah yang telah dibelinya bersama Mohtar, suaminya, dan tiba-tiba seolah-olah benda-benda itu bukan miliknya lagi. Ia memandangi Jono, dan ia memandangi dirinya sendiri. Laki-laki itu tetap melarat seperti dulu, bahkan lebih melarat barangkali.
“Aku senang kalau kau bahagia.”
Kembali suara itu terdengar. Ya, lima tahun yang lalu laki-laki itu pernah berbisik di telinganya ketika mereka berikrar setia,”Aku senang kalau kau bahagia.” Suara itu diucapkannya dengan lembut sambil tangan mereka berpegangan. Tiba-tiba Marina mendapat surat dari kampung bahwa ibunya sakit keras. Ia berangkat dengan kereta api, dan diantarkan Jono hingga ke stasiun. Ketika tiba di Pemalang, ibunya dalam keadaan kritis.
Pada detik-detik itulah tangannya ditangkupkan dengan tangan Mohtar, saudara misannya sendiri.
Menjelang naza’ ibunya berpesan, “Hiduplah baik-baik bersamaMohtar.” Setengah tahun kemudian kawinlah ia dengan anak saudara ibunya itu.
Tujuh bulan sesudah perkawinannya dengan Mohtar, lahirlah Udin dalam keadaan segar bugar. Dalam usia Udin dua tahun, mereka pindah ke Jakarta, menempati sebuah rumah mewah di Gunung Sahari IX.
“Aku mendapat alamatmu dari Mahmudi,” kata Jono. Ia duduk, mengeluarkan sebatang Jinggo, disulutnya, dan diisap dalam-dalam. Asap pekatnya mengepul ke udara.
“Kau tega, Rina. Aku menunggu, gagal semuanya. Tapi, ah, kau sudah bahagia,” gumam Jono.
Perih hati Rina. Hanya Tuhan yang tahu bahwa kebahagiaannya hanya terletak pada ketaatannya kepada wasiat mendiang ibunya. Bukanpada yang lain. dan sekarang adalah pada Udin. Kalau saja masih seperti dulu, alangkah rindunya Rina mencium tangan Jono dan menangis meminta ampun.
“Untuk menghibur diri aku pergi ke Lampung dan bekerja di sana. Namun, gambaran tentangmu tak pernah hilang. Aku sakit paru-paru..”
“Jon . . .” hanya itu yang bisa diucapkan Rina.
Setelah itu laki-laki tersebut memandangnya tajam. Jono bangkit mendekatinya. Seperti terkena magnet ia mandah saja ketika tangan Jono membimbingnya ke kamar. Tangan itu sekarang telah mendekapnya. Jono berbisik di telinganya, napasnya panas meratai sekujur wajahnya. “Izinkan aku menjamahmu meskipun setelah itu aku harus mati, Rina. Tolonglah Rina,” ucap Jono mengiba-iba. Napasnya berdengus penuh kerinduan yang dalam. “Izinkan aku menikmati kemesraanmu meskipun hanya sekejap saja.”
Dan tanpa permisi lagi tangan Jono tiba-tiba telahberada di pundaknya. Tangan itu hendak melepaskan kebayanya. Pada saat itulah ia tiba-tiba insaf betul akan keadaannya, dan menjerit. “Jon, jangan! Ini perbuatan terkutuk. Jagan!”
Presis pada saat itu pula Mohtar masuk seraya berteriak, “Sedang mengapa kalian di sini? Di dalam kamarku?”
Jono terperanjat, tetapi cepat bersikap tenang. Marina pucat. Ia merasa bersalah walaupun tidak bersalah. Tergagap-gagap dia menjawab, “Mas, kenalkan . . . . ini kawanku waktu menjadi mahasiswa dulu.”
“Mohtar . . .” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
Jono menerima tangan itu sambil menjawab, “Jono . . . “ Nampaknya seperti tidak ada apa-apa. Tetapi Rina tahu betapa besar cinta serta cemburu Mohtar kepadanya. Ia tahu bahwa suasana itu hanya dibikin-bikin belaka, suasana yang tampaknya tenang bagaikan laut tanpa gelombang.
Darimana suaminya ia menampak bayangan-bayangan merah penuh ancaman. Namun, apa hendak dikata? Peristiwa telah terjadi. Dan Rina memang merasa bersalah. Hingga ia hanya dapat menghela napas. Pasrah.
Semenjak peristiwa itulah Mohtar sangat lain sikapnya. Setiap makan ia keluar. Rina tidak pernah dijamahnya sama sekali. Jika pulang, dari mulutnya menghambur bau minuman keras.
Malam ini seperti biasanya, tatkala lonceng telah berdentang jam dua tengah malam, barulah bayangan tubuh Mohtar muncul di ambang pintu. Dan seperti biasanya Rina menyapa dengan sangat gembira. Lantas seperti biasa pula Mohtar menepis tangannya acuh tak acuh. Setelah itu ia akan menggelosor di atas tempat tidur, mendengkur hingga pagi. Sambil meneteskan air mata menahan sakit, Rina merenung di depan Udin yang tidur dengan aman. Anak ini tidak tahu apa-apa. Ia anakmu, Mohtar, anak kita sendiri.
Tetapi, jeritan itu selamanya hanya tersembunyi dalam tangisan belaka. Ia tidak pernah berani lagi untuk mempertahankan kesuciannya, bahwa ia tidak berkhianat kepada Mohtar.
Waktu pagi-pagi ia terbangun, suaminya sudah dandan dan menyiapkan koper. Rina kaget. Buru-buru ia bersembahyang subuh, lalu bertanya,”Mau kemana Mas?”
Mohtar diam tidak menjawab. Ia cuma menyerahkan sepucuk surat, lantas keluar dengan cepat. Rina berteriak, “Mas . . . !”
Udin terbangun. Melihat ibunya termangu di ambang pintu dan bayangan bapaknya menghilang di kelokan jalan, anak kecil yang tidak bersalah itu bertanya, “Bapak mau kemana, Bu?”
Seraya mengulang membaca isi surat Mohtar kepadanya dalam hati, Rina menjawab sambil terisak,”Bapakmu pergi tak akan kembali.”
“Bu . . .,” Udin menangis dalam pangkuan ibunya.
“Mengapa Bu?” Lalu sayup-sayup seolah suara Mohtar sendiri yang bergema, “Mulai hari ini kamu bebas dariku. Kau kutalak tiga, dan Udin bukan anakku. Maafkan semuanya.”
Pelan-pelan matahari pagi menyinarkan cahayanya, dan tangis Udin tertelan kebisingan hiruk pikuk kota Jakarta.” (*)
sumber harian rakyat aceh
0 komentar:
Post a Comment