Karyawan sedang mengantarkan pesanan pengunjung cafe/joelpantora |
BANDA ACEH (Pantoranews) - Sepuluh
remaja itu, duduk berjejer. Di hadapan mereka, ada sejumlah laptop berbagai
merek. Semuanya terkoneksi langsung ke internet. “Sambungannya (koneksi internet) kencang
bangeeeeeeeet,” kata seorang di antara mereka.
Hari
itu, Kamis, 16 februari 2017. Kafe Channel Coffee, memang sedang padat-padatnya.
Banyak pengunjung yang memilih nongkrong di sana. Selain karena suasananya yang
nyaman, kafe ini juga menawarkan nuansa modern. “Benar, Channel Coffee yang paling
modern di Aceh,” kata mereka.
Perubahan
sangat siginifikan pada wajah warung kopi di Aceh terjadi pasca Tsunami. Jauh
sebelum bencana itu menghatam Tanah Rencong, warung kopi hanya menawarkan
konsep tradisional.
Kehidupan
di era globalisasi yang semakin canggih
dan modern, membuat manusia dituntut serba maju dan moderisasi, seakan dunia
menuntut manusia tak terlepas dalam mengupdate dunia informasi dan tekhnologi, kata salah seorang remaja putri.
Kota yang pernah diguncang gempa 9,3 SR dan disusul gelombang tsunami 12 tahun silam itu kian berkembang. Hingga tak terbekas lagi dibenak remaja yang duduk nongkrong disana. Seakan mereka telah melupakan sejarah silam.
Jari-jemari mereka terlihat begitu sibuk menari diatas keyboard laptopnya masing-masing. Terkadang sesekali mereka saling menoleh, entah apa yang dibisikkan ke temannya yang duduk berdampingan, tak lama kemudian mereka saling tertawa.
Di meja yang lain, tak jauh dari tempat remaja itu nongkrong. Terlihat ada sejumlah pria paruh baya. Dari pembicaraannya terdengar, mereka sedang melakukan negoisasi suatu produk. Nampaknya, negoisasi produknya berhasil, salah satu nya mengeluarkan sejumlah uang. Sedangkan pria yang berkaca mata duduk di sampingnya, masih sibuk menulis selembar kertas. Mungkin saja itu adalah kwitansi untuk pembayaran.
Selang beberapa menit kemudian, keduanya saling menyerahkan. Salah seorang, yang memakai kacamata menyerahkan selembar kertas kwitans. Sedangkan yang satu lagi, menyerahkan sejumlah uang setelah menerima kertas kwitansi. Terlihat setelah menerima kertas tersebut langung membaca dengan teliti.
Setelah beberapa menit, keduanya saling bersalaman, dan langsung meninggalkan tempat duduk mereka menuju ke meja kasir.
Selain sebagai tempat tongkrongan anak muda, warung kopi di Aceh juga sering dimanfaatkan untuk pertemuan organisasi mahasiwa, berbisnis, dan tempat ketiga sebagai ruang belajar mahasisawa setelah kampus dan perpustakaan. (zjp)
Kota yang pernah diguncang gempa 9,3 SR dan disusul gelombang tsunami 12 tahun silam itu kian berkembang. Hingga tak terbekas lagi dibenak remaja yang duduk nongkrong disana. Seakan mereka telah melupakan sejarah silam.
Jari-jemari mereka terlihat begitu sibuk menari diatas keyboard laptopnya masing-masing. Terkadang sesekali mereka saling menoleh, entah apa yang dibisikkan ke temannya yang duduk berdampingan, tak lama kemudian mereka saling tertawa.
Di meja yang lain, tak jauh dari tempat remaja itu nongkrong. Terlihat ada sejumlah pria paruh baya. Dari pembicaraannya terdengar, mereka sedang melakukan negoisasi suatu produk. Nampaknya, negoisasi produknya berhasil, salah satu nya mengeluarkan sejumlah uang. Sedangkan pria yang berkaca mata duduk di sampingnya, masih sibuk menulis selembar kertas. Mungkin saja itu adalah kwitansi untuk pembayaran.
Selang beberapa menit kemudian, keduanya saling menyerahkan. Salah seorang, yang memakai kacamata menyerahkan selembar kertas kwitans. Sedangkan yang satu lagi, menyerahkan sejumlah uang setelah menerima kertas kwitansi. Terlihat setelah menerima kertas tersebut langung membaca dengan teliti.
Setelah beberapa menit, keduanya saling bersalaman, dan langsung meninggalkan tempat duduk mereka menuju ke meja kasir.
Selain sebagai tempat tongkrongan anak muda, warung kopi di Aceh juga sering dimanfaatkan untuk pertemuan organisasi mahasiwa, berbisnis, dan tempat ketiga sebagai ruang belajar mahasisawa setelah kampus dan perpustakaan. (zjp)
0 komentar:
Post a Comment