Monday, November 24, 2014

Sudah semenjak sebelumkedatangan islam, Abu Dzar Al Ghifari bersahabat akrab dengan Am bin Hisyam yang terkenal dengan julukannya, Abu Jahal. Keduanya sama-sama saudagar dan malah berkongsi dagang yang paling menguntungkan. Bila berkunjung ke kota Mekah, Abu Dzar selalu membawa barang-barang dagangan yang dijual melalui perantaraan Abu Jahal.
Pada suatu hari kedatangan Abu Dzar tidak membawa apa-apa. Tidak barang-barang, dan tidak pula uang perniagaan.
Dengan kebingungan Abu Jahal bertanya, “Engkau membawa barang dagangan wahai sahabatku?”
Abu Dzar menjawab, “Tidak.”
“Engkau membawa uang?” tanya Abu Jahal makin kebingungan.
“Juga tidak.”
“Sudah gilakah engkau sahabatku? Datang jauh-jauh ke Mekah tanpa membawa barang ataupun uang? Sintingkah engkau? Jadi dengan tujuan apa engkau datang kemari?”
Abu Dzar dengan tenang menjelaskan, “Kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan.”
“Lalu,untuk apa?”
“Aku ingin bertemu dengan kemenakanmu.”
Abu Jahal beretanya tidak mengerti, “Untuk bertemu dengan kemenakanku? Siapayang kau maksudkan?”
“Muhammad,” jawab Abu Dzar tegas. “Aku dengar dari beberapa sahabatku bahwa ia telah diangkat menjadi Rasul? Bukankah Muhammad adalah anak saudaramu? Engkau harus bangga mempunyai kemenakan semulia itu.”
Sambil mengernyitkan kening Abu Jahal berkata keras, “Hai sahabat, dengarkan nasihatku. Jangan kau temui dia.”
“Mengapa?”
“Muhammad itu amat menarik. Sekali berjumpa engkau pasti akan terpikat kepadanya. Wajahnya bersih. Perkataannya berisi mutiara hikmah. Perilakunya amat lembut, dan sopan membacakan wahyu, semua kalimatnya menyentuh jiwa.”
“Berarti engkau yakin bahwa dia seorang Rasul?”
“Tentu saja, kenapa tidak. Mustahil ia bukan seorang Rasul. Otaknya amat cerdas. Budi pekertinya sangat mulia. Ketabahannya melebihi manusia biasa. Dayatariknya hebat bukan main.”
“Engkau yakin, kemenakanmu itu utusan Allah,” tanya Abu Dzar.
“Yakin betul.”
“Kau percaya bahwa ia benar?”
“Lebih dari sekedar percaya.”
“Jadi engkau mengikuti ajaran agamanya?”
“Apa?” geram Abu Jahal. “Ulangi sekali lagi pertanyaanmu!”
“Maksudku,apakah engkau sudah menjadi pemeluk islam?”
“Aku masih teteap Abu Jahal, sahabatku, bukan orang yang sudah miring. Dibayar berapapun aku takkan mau menjadi pengikutnya.”
“Bukankah engkau yakin bahwa Muhammad itu benar?”
“Walaupun aku yakin bahwa Muhammad memang benar, aku akan tetap melawan Muhammad sampai kapanpun juga.”
“Apa sebabnya?”
Abu Jahal menjawab, “Kedudukan dan wibawaku akan hancur berantakan bila aku mau menjadi pengikut kemenakanku sendiri. Akan kuletakkan dimana mukaku di mata bangsa Quraisy?”
“Pendirianmu keliru sahabatku,” tegur Abu Dzar.
“Aku tahu bahwa aku memang keliru.”
“Dan kelak engkau bakal kalah.”
“Ya. Bisa saja aku kalah. Bakal aku tahu, di akhirat bakal dimasukkan ke dalam neraka jahim. Tapi aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia, walaupun di alam sana aku pasti dikalahkannya.”
Demikianlah yang terjadi, hati nurani seringkali terpaksa tunduk oleh keserakahan dan kesombongan diri. (*)

0 komentar: