Pantora News/int |
Pedagang ini mempunyai laki-laki dari anaknya yang bernama Raden Pandeta. Cucu itu adalah Raden Usman Haji bergelar Sunan Ngudung yang berkedudukan di Jipang Panolan sebelah utara Blitar. Dari Raden Usman Haji lahirlah Dewi Sujinah istri Sunan Muria, dan Ja’far Shadik yang lebih dikenal dengan Sunan Kudus.
Sebagai keturunan seorang oengembara yang menghabiskan waktunya untuk agama, Sunan Kudus mewarisi sifat itu juga. Dari muda ia berkelana ke seluruh pelosok sampai akhirnya tiba di Kudus. Waktu itu yang berpengaruh di daerah itu adalah seorang kakek tua yang bernama Mbah Kyai Telingsing, nama aslinya The Ling Sing, putra seorang pemahat Cina muslim dari aliran Sun Ging.
Kyai Telingsing disegani oleh segenap rakyat, karena kakek itu terkenal mempunyai kebijaksanaan dan kesaktian. Sebagai seorang arif yang banyak pengalaman, begitu Sunan Kudus tiba dan bertatapan muka dengannya, tahulah dia bahwa waktunya menyerahkan Kota Kudus kepada angkatan muda. Pilihannya jatuh kepada anak muda itu, Ja’far Shadik.
Semenjak itulah namanya menjadi Sunan Kudus. Dialah yang mempelopori penyebaran agama Islam di seluruh bagian Utara Jawa Tengah.ketinggian ilmunya menyebabkan para ilmuwan menggelarinya. Waliyul ‘ilmi. Sangat tinggi pengetahuannya dalam bidang agama, terutama bagian fan-fan ushul, tauhid, hadits,mantik dan fiqih. Ia juga seorang pujangga yang banyak mengarang cerita-cerita pendek bernafaskan agama. Dialah yang menciptakan gending Maskumambang dan Mijil.
Sunan Kudus adalah seorang wali yang pendekar dan menguasai kemiliteran. Ia menjabat Senopati Demak disamping mengendalikan pemerintahan di Kota Kudus. Pada tahun 956 H, Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang kemudian dikenal sebagai Masjid Menara Kudus.
Di atas pengimaman terdapat sebilah batu bertulis yang berasal dari Baitul Maqdis, hadiah seorang amir di tanah Arab karena ia berhasil menghentikan wabah yang menyerang di sana. Dari nama Baitul Maqdis itulah diambil nama kota Kudus. Ia adlah seorang wali yang keras pendiriannya, namun luas kebijaksanannya.
Untuk toleransi kepada orang Budha yangmasih banyak ketika itu, sengaja di atas lubang padasan masjid Kudus dipasang delapan ukiran kepala arca yang melambangkan delapan ajaran sang Budha yang disebut Asta Sanghika Marga atau Jalan berlipat delapan, yang disampaikan siswa-siswanya waktu di Benares.
Secara garis besar ajaran itu menuntun manusia kepada kepercayaan yang benar,keputusan ynag benar, penghidupan yang benar, semadi yang benar, usaha yang benar, dan mengheningkan cipta yang benar.
Sunan Kudus juga menghormat sesembahan orang lain. ia memberiahu pengikut-pengikutnya supaya jangan memotong lembu dulu sebab pada waktu itu masih banyak orang Kudus yang beragama Hindu. Dengan kebijaksanaannya pula orang Kudus membangun menara dengan bentuk seperti candi-camdi di Bali yang berasal dari Majapahit. Dalam segi arsitektur menara tersebut mempunyai tiga bagian yang merupakan cirri-ciri seni Hindu Jawa, kaki, badan serta puncak bangunan, yang berarti empat dengan pondasinya.
Hal ini melambangkan ajaran tasawuf, syariat, thariqat, hakekat dan mkrifat, sama seperti susunan atap mesjid. Sewaktu kecil Sunan Kudus bernama Raden Undung. Setelah kawin dengan Dewi Rukhil, putrid Sunan Bonang, ia mendapat anak laki-laki yang dinamainya Amir Hamzah. Ketika ia menunaikan ibadah Haji, namanya dikenal dengan Raden Amir Haji.
Dalamperkawinannnya denganputri bangsawan Majapahit Pangeran Pecat Tandaterung, ia memperoleh delapan keturunan, yaitu Nyai Ageng Pambayun, Panembahan Palembang, Panembahan Makaos Honggokusumo, Panembahan Kadhi, Panembahan Karinum, Panembahan Joko, Ratu Pajoko dan Ratu Prodobinalar yang kelak menjadi sitri panglima perangnya. Pangeran Poncowati. Ia wafat tahun 1550 M dan dikebumikan di tengah kota Kudus. (*)
0 komentar:
Post a Comment