Tuesday, November 25, 2014

Ilustrasi orang sedang melaksanakan Shalat berjamaah/int
ANDAI kata sembahyang boleh dilakukan dengan menggunakan bahasa masing-masing, bukankah akan lebih mudah dikerjakan? Mengapa mesti dengan bahasa Arab? Apakah Tuhan hanya mengerti bahasa Timur Tengah itu? Demikian sering tanda tanyaketidapuasan mengental di hati sejumlah masyarakat yang gandrung kembali kepada tradisi nenek moyang.

Alkisah, seorang nenek dari Jawa Tengah bertetangga dengan nenek berasal dari Cianjur. Kedua-duanya sama-sama totok tidak mengerti bahasa lain. pernah mereka terlibat dalam ketegangan meruncing akibat salah paham. Ceritanya, karena amat baik hati, melihat nenek Jawa Tengah kehabisan minyak tanah, si nenek Cianjur tanpa diminta mengantar sekaleng ke rumah tetangganya itu.

Dengan menggunakan bahasa sunda nenek itu bertanya, “Ini minyak tanah ditaruh dimana?”
Meskipun samar-samar nenek Jawa itu tahu maksudnya sebab ada kata dimana, jadi ia menjawab, “Dituang saja,” dalam bahasa jawa.

Tentu saja, nenek Cianjur itu marah, lantaran dituang artinya dimakan, menurut bahasa Sunda. Nenek Jawa itu disanagka menghina dan mempermainkan pertolongan orang lain.untung akhirnya masalah itu dapat diselesaikan oleh pamong desa setempat.

Itu kejadian diluar masjid. Tetapi, ketika mereka bersama-sama hendak shalat jamaah di dalam masjid, persoalan bahasa tidak jadi penghalang lagi karena baik yang sunda maupun jawa bersembahyang menggunakan bahasa yang sama, bahasa Al-Quran.

Bayangkan, apabila imam dan makmum-makmumnya memakai bahasa masing-masing, bukankah waktu membaca “amin”saja suasana shalat bisa gaduh?orang arab menjawab “amin” orang Jakarta mengatakan “kabulkanlah”,orang inggris mengatakan “may god bless us”, orang jawa berseru “lah mboh dingaisih”, orang jawa solo menggumam “mugi-mugi dipunsembadani”.

Dan umpamanya dibikin masjid untuk bahasa sendiri-sendiri, alangkah banyaknya masjid yang harus didirikan di negeri kita.serta tak dapat dibayangkan betapa ributnya tiap kali adzan dikumandangkan. Ada yang bang “Allah nan gadang”. Ada yang “Allah sing gede nemen”. Ada yang adzan “Allah nu agung pisan”. Adapula yang “Allah ingkang ageng sanget”.wah,kacau balau.

Oleh sebab itu,Nabi SAW sangat bijaksana ketika menentukan bagaimana adzan memanggil umat untuk bersembahyang harus dilafalkan. Mula-mula ada yang mengusulkan agar seruan berjamaah dengan mengibarkan bendera isyarat.sahabat lain menganjurkan dengan meniup terompet. Ada lagi yang punya saran untuk membunyikan lonceng atau genta. Semuanya tidak disetujui oleh RAsulullah.

 Beliau menyepakati lafal as-shalat seperti diusulkan Umar bin Khatab. Dan lafal itulah yang untuk beberapa masa didengungkan oleh Bilal dari puncak Ka’bah.Cuma beberapa waktu lalu kemudian disempurnakan. Menjadi as-shalatu jamiah oleh Bilal.

Namun, padasuatu malam seorang sahabat bernama Abdullah bin Zaid dalam tidurnya bermimpi.ia melihat seorang lelaki berjubah mondar mandir di depannya sambil membawa genta. Abdullah menegurnya dan berkata ingin membeli genta itu.

“Untuk apa?”tanya priaberjubah serba hijau itu keheranan.
“Untuk menyerukan umat supaya bersembahyang jamaah,”jawab Abdullah bin Zaid mengemukakan keinginannya.

Lelaki itu tersenyum seraya menggeleng, “Tidak layak memanggil orang menyembah Tuhan Maha Besar dengan membunyikan genta. Dengarkanlah seruan yang lebih tepat.”

Lantas lelaki berjubah itu menerangkan lafal adzan seperti yang kita dengar sekarang. Hikmahnya, ucapan Allahuakbar adalah mengingatkan manusia dan kehidupannya di dunia sungguh kecil. Yang Maha Besar adalah Allah dan kehifupan hadirat-Nya, disusul dengan lafal syahadatain,mengandung makna bahwa manusiatidak cukup hanya bertuhan saja, melainkan harus mengikuti agamauntuk mencapai agama yang benar. Dan karena Muhammad adalah Rasul terakhir.

 Baru setelah itu diserukan untuk mengerjakan shalat dengan lafal hayya alas-shalat.sebab shalat baru diterima bila mnengikutin cara-cara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.bila sudah shalat, berarti kemenangan pun mudah diperoleh lantaran shalat adalah permulaan dari kemenanganmengatasi godaan hawa nafsu.dan perjuangan mengalahkan hawa nafsu adalah kemenangan di atas perjuangan mengalahkan musuh manapun.

Setelah kemenangan itu direbut, tidak ada yang patut dipekikkan kecuali kebesaran Allah,karena tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolonganNya. Allah yang mana yang harus kita agungkan? Tidak lain adalah Allah ynag tiada tuhan kecuali Dia.

Pada waktu rekaman mimpi ini diberitahukan kepada Rasulullah, beliau dengan gembira menyetujuinya sebagai lafal adzan semenjak saat itu. Oleh Bilal, tiap kali bang subuh ditambahkan kalimat as-shalatu khairum minan naum, shalat itu lebih utama daripada tidur,setelah kalimat hayya alal falah. (*)

0 komentar: