Friday, November 14, 2014

Dua tahun yang lalu aku berkenalan dengan gadis itu di Kyrenina. Sebuah kota yang aman, aman juga hati penduduknya. Kadang-kadang memang suka terjadi kesalahpahaman di antara kedua keturunan itu, tetapi selalu bisa diatasi dengan baik. Dan kau melihat sendiri buktinya. Kristina Papadavos begitu intimnya bergaul dengan Omar Rempash.
“Arman,” kata Kristina pada suatu sore ketika aku diundang minum kopi dirumahnya. Mukanya berkabut, padahal di Siprus sedang musim semi waktu itu. “Kau percaya pada firasat?”
Aku pandangi dia, tidak mengerti. “Ayolah, kita bicara tentang negerimu yang kecil tapi indah,” jawabku.
Dia menunduk. “Semalam aku mimpi dicabik-cabik harimau. Omar melihat, tetapi tangan dan kakinya terbelenggu, sedangkan kau lihat tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena kau berada dibalik ruangan kaca.”
“Ah, itu hanya mimpi,” jawabku sambil kuseka tangannya.
Dia menatapku, “Tidak, aku merasa bahwa itu firasat buruk.”
Percakapan itu masih kuingat-ingat sampai sekarang. Dan ternyata benar apa yang ditakutkan Kristina. Tadinya aku menganggap firasatnya itu sekedar takhayul yang memang masih besar sekali pengaruhnya di kalangan orang-orang keturunan Yunani. Namun, setelah Nicolas Sampson mengambil alih kekuasaan danpasukan-pasukan Turki serta Yunani berbaku meriam, aku jadi ngeri memikirkan nasib Kristina.
Segera aku terbang dari London, sekalian meminta fasilitas dari kedutaan Indonesia untuk mendapat izin khusus mengkover berita-berita on the spot tentang pergolakan di bekas negeri Makarios itu.
Turun dari DC-10 BOAC aku terus menelepon ke perusahaan angkutan Papadupulous. Kusewa sebuah Fiat sport untuk sebulan. Dari airport aku langsung menuju ke Kyrenia.
Kota kecil tiu telah diduduki pasukan-pasukan Turki. Sepanjang jalan bekas-bekas pertempuran masih belum dibersihkan. Bangkai-bangkai meriam dan kendaraan lapis baja berserakan dimana-mana. Bahkan sebuah pesawat Yunani teronggok di pinggir hutan, tinggal puing-puingnya saja. Penjagaan di pintu masuk sangat ketat. Tentara Turki maupun anggota-anggota pasukan Siprus keturunan Turki sangat hati-hati untuk mengizinkan orang asing memasuki kota itu.
“Your identity, please!” kata seorang Letnan Turki dengan sopan. Setelah kusodorkan paspor dan usrat-surat lainnya, letnan berkata: “Indonesian moslem?”
Aku mengangguk, lalu kuterangkan maksud kedatanganku. Bahwa disamping tugas-tugas kewartawanan, aku juga ingin menemui sahabatku, Omar Rempash.
“Who? Omar Rempash you said? He is a brave young man, a real hero in the war,” jawab letnan itu bangga. Malahan ia menyuruh anak buahnya untuk mengantarku ke tempat sahabatku tersebut.
Tempat Omar adalah sebuah gedung yang tembok depannya sudah runtuh. Gedung itu dijaga oleh pasukan milisi keturunan Turki. Aku dipersilahkan masuk. Di sebuah ruangan aku bertemu dengan Omar Rempash, sahabatku. Dia menyambutku hangat, tetapi ada sesuatu yang lain di wajahnya. Garis-garis kulit di bawah matanya menajam, sementara mata itu sendiri nyaris kehilangan nyalanya.
“How do you do, Seargeant,” katak menggoda. Omar tersenyum masam melirik ke lengannya. Perubahan begitu cepat terjadi, padahal jarum waktu belum berputar lama. Pemuda yang lembut itu telah menjadi sersan dan pahlawan di medan perang. Sudah pasti banyak darah telah ditumpahkannya.
Agaknya ia menyadari apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiranku. Setelah mempersilahkan duduk, ia berkata, “Kadang-kadang manusia tidak memiliki kekuasaan apa-apa atas dirinya.”
Aku mengerti apa yang dimaksudkannya. Kata-kata ini pasti berlatar belakang peristiwa yang panjang. Tentu Kristina terselip di antaranya.
Sekali lagi Omar dapat menebak gejolak perasaanku. Dengan suara tergetar ia berkata, “Kristina adalah milikku yang paling berharga di dunia ini. Itu sebelum ras kami berhadap-hadapan. Sekarang ia bukan apa-apa bagi Sersan Omar Rompesh, walaupun buat si Omar dia tetap yang paling dicintai.”
“Di mana Kristina?” aku bertanya ragu-ragu.
“Nanti kau akan diantarkan kesana,” Omar tertunduk, bibirnya mengatup rapat, matanya berkaca-kaca. “Dia tertangkap sebagai mata-mata. Besok pagi ekskusi akan dijalankan.” Omar lantas terhenyak diatas tempat duduknya.
“Omar,” aku bangkit memegang pundaknya.
“Arman,” diremasnya tanganku. “Bahagialah bangsamu.”
Setelah itu kami terpisah. Sehabis asar seorang serdadu mengantarku ke sel tawanan-tawanan berat. Sel itu terletak dalam sebuah gedung kuno. Remang-remang saja cahaya lampu disitu. Hawanya lembab. Di dalam sebuah sel yang terpencil bayangan tubuh yang kecil itu sudah kelihatan. Kristina Papadavors yang diam-diam kurindukan , tetapi dia sendiri lebih mencintai kekasih keturunan Turkinya, Omar.
Gadis itu terlonjak kaget mendengar panggilanku. “Arman,” teriaknya seraya bangkit. Ia masih tetap cantik dalam warna muka yang pucat itu.
Segera dijabatnya tanganku dari balik jeruji. Ia menangis di atas tanganku. Dengan gemetar kucium rambutnya yang melolos keluar. Kami tidak mampu berkata-kata apa yang kami rasakan tak kan sanggup terucapkan.
Akhirnya kuangkat dagunya, dan aku berkata: “Omar…..”maksudku hendak menyampaikan cinta Omar kepadanya.
”Jangan,” selanya. “Aku tahu betapa Omar. Omar adalah kenangan indah yang tak ada cacatnya.”
Setelah itu kami hanya berpandang-pandangan. Sampai saatnya waktu besuk habis. Menjelang berpisah Kristina berkata, “Katakan pada Omar, aku menunggunya disana, sebab aku akan mati dalam agamanya.”
Malam itu hmpir terpicing mataku. Bayangan-banyangan ngeri berputar dalam benakku. Tentang gempa, tentang banjir. Namun, akhirnya tibalah aku dalam suatu mata airyang bening dan damai. Ketika itulah sayup-sayup terdengar serentetan tembakan. Sesudah itu lengang. Seperempat jam kemudian suara azan mendengung dari sebuah masjid. Lambat-lambat aku bangun, bersembahyang subuh. Beberapa lamanya kau berdoa, khusuk untuk Krisitna dan Omar. (*)

0 komentar: