Wednesday, November 26, 2014

Sepasang suami istri, seperti pasangan lain di kota2 besar meninggalkan anaknya di asuh oleh pembantu sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah ia bersama ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang paku berkarat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya di parkir, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya, karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya nampak jelas. Apalagi anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menhindari macet. Setelah sebelah kanan sudah penuh dengan coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu.
Saat pulang kerja, terkejutlah pasang suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini?". Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan, lebih-lebih melihat wajah bengis majikannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan, "Saya tidak tahu tuan." "Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?" hardik si istri.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata, "Dita yang membuat gambar itu ayah. Cantik kan?" katanya seraya memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa. Si ayah sudah hilang kesabaran, mengambil sebatang ranting kecil dari pohon depan rumah, lalu dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa menangis kesakitan, pedih sekaligus kesakitan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.
Sedangkan si ibu hanya diam saja. Seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu terbengong, tidak tahu harus berbuat apa. Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu memandikan anak kecil itu, dia ikut menangis. Anak itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu. Keesokan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja." jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya, sementara si ibu juga begitu. Meski setiap hari bertanya kepada pembantunya, "Dita demam bu.." jawab pembantunya ringkas. "Kasih minum obat saja.." jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk ke kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya, Dita dalam pelukan pembantunya. Dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari ke empat, pembantu memberi tahukan bahwa suhu badan Dita terlalu panas, "Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5 sudah siap." kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter menyarankan agar dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah sangat serius.
Setelah beberapa hari dirawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut. "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya, maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah..!" kata dokter itu.
Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi?
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata istrinya, si ayah gemetar tangannya menanda tangani surat persetujuan pembedahan.
Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia keheranan melihat keduan tangannya berbalut kasa putih. Dilihatnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara, "Ayah, ibu.. Dita tidak akan melakukannya lagi. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi. Dita sayang aya, sayang ibu.." katanya berulang kali membuat si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang mbok Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah. Sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
"Ayah, kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil? Dita janji tidak akan mengulanginya lagi. Bagaimana caranya Dita mau makan nanti? Dita janji tidak akan mencoret2 mobil lagi." katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-meraung di sekuat hati, namun semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan. Dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah meminta maaf.
Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran batin. Sampai suatu saat sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yang tak bertepi. Namun si anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar, bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya.

0 komentar: