Sunday, November 23, 2014

Pada suatu hari Fatimah bertanya kepada Rasulullah, siapakah perempuan yang bakal masuk surge pertama kali. Ia mennjawab, seorang perempuan yang bernama mutiah. Fatimah terkejut, ternyata bukan dia seperti yang dibayangkannya. Mengapa orang lain, padahal ia adalah putrid Nabi?
Karena itu, timbul keinginannya untk mengetahui siapa Mutiiah itu. Apakah gerangan yang diperbuatnya sampai mendapat kehormatan yang begitu tinggi?
Sesudah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib, Fatimah berangkat mencari rumah Mutiah. Putranya yang masih kecil, Hasan, menangis ingin ikut. Maka digandengnya Hasan.
Tiba dimuka rumah Mutiah, Fatimah mengetuk pintu dan memberi salam, “Assalamualaikum….!”
“Alaikumsalam! Siapa diluar?” terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam. Suaranya cerah dan merdu.
“Saya,Fatimah, putrid Rasulullah.”
“Alhamdulillah alangkah bahagianya saya hari ini. Fatimah sudi berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam. Kali ini nyata lebih gembira lagi, dan makin dekat ke pintu.
“Sendirian, Fatimah?”
“Aku ditemani Hasan”
“Aduh, maaf ya,” suara itu terdengar menyesal. ”Saya belum mendapat izin untuk menemui tamu laki-laki”
“Tapi Hasanmasih kecil.”
“Meskipun kecil, Hasan laki-laki. Besok saja datang lagi, saya akan minta izin kepada suami saya,” sahut Fatimah tak kurang kecewanya.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Fatimah minta permisi.
Besoknya dia datang lagi. Kali ini Husain diajak juga. Bertiga dengan anak yang masih kecil itu. Fatimah mendatangi rumah Mutiah. Setelah member salam dan dijawab dengan gembira, Mutiah berkata dari dalam,”Jadi denan Hasan, Fatimah? Suami saya sudah member izin.”
“Ya. Dengan Hasan dan Husain”
“Ha? Mengapa tidak mengatakannya dari kemarin? Yang dapat izin cuma Hasan. Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerima juga.”
Hari itu pun Fatimah gagal betemu. Hanya besok harinya dia disambut baik oleh Mutiah dirumahnya.
Keadaan rumah itu sangat sederhana. Tidak ada satu pun perabotan mewah. Namun, semuanya tertata dengan rapi. Tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar itu pun bersih sekali. Alasnya putih, agaknya baru dicuci. Bau di dalam sangat segar, membuat orang betah dirumah.
Fatimah kagum melihat suasana rumah yang sangat menyenangkan itu sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tidak begitu betah berada dirumah orang, kali ini tampak asyik bermain-main.
“Maaf ya, saya tidak bisa menemani Fatimah duduk sebab saya sedang menyiapkan makan buat suami saya,” kata Fatimahsambil sibuk di dapur.
Mendekati tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya.lalu ditaruhnya diatas nampan, Mutiah mengambil cambuk, cambuk itu pun ditaruhnya diatas nampan. Fatimah bertanya, “Suamimu kerja dimana?”
“Di ladang.”
“Penggembala?”
“Bukan, bercocok tanam.”
“Tapi mengapa kau bawakan cambuk juga?”
“Oh itu,”sahut Mutiah seraya tersenyum. “Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain. maksud saya begini. Kalau suami saya mau makan, saya tanya suami saya apakah masakannya cocok atau tidak. Kalau bilang cocok, tak kan terjadi apa-apa. Tetapi, kalau dia bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya agar dicambuknya punggung saya sebab tidak bisa menyenangkan hati suami.”
“Atas kehendak suamimu kau bawa cambuk itu?”
“Oh sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang pengasih. Ini semua semata-mata kehendak saya agar saya tidak menjadin istri durhaka.”
Mendengar penjelasan ini Fatimah lantas permisi pulang. Dalam hati ia berkata, pantas kalau Mutiah, perempuan yangmasuk surge buat pertama kali, karena baktinya kepada suami begitu bwsar dan tulus. Perilaku kesetiaan semacam itu bukanlah lambang perbudakan wanita oleh pria. Justru sebaliknya, merupakan citra dan cermin bagi ketulusan dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perilaku yang sama. (*)

0 komentar: